Kota Bima (NTBSatu) – Terhitung sejak tahun 2019 hingga 2024, sudah ada empat joki cilik di NTB yang meninggal dunia di arena pacuan kuda.
Terbaru, sekitar seminggu yang lalu, tepatnya pada 12 Mei 2024, anak di bawah umur inisial PR (8 tahun) asal Desa Donggo, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu, menjadi korban keempat yang tewas di arena pacuan kuda tradisional.
Di mana jauh sebelum itu, kasus serupa juga menimpa anak-anak di Bima, yakni MSP (9 tahun) meninggal pada 29 Oktober 2019 di Lapangan Sambinae, Kota Bima.
Kemudian pada 9 Maret 2022, seorang joki cilik inisial MA (6 tahun), meninggal saat menunggangi kuda di Lapangan Panda, Kabupaten Bima.
Setelah itu, AB (12 tahun) merupakan joki cilik asal Kota Bima, yang meninggal pada 13 Agustus 2023 di Lapangan Panda, Kabupaten Bima.
Aktivis Anak sekaligus bagian dari Koalisi Stop Joki Anak, Joko Jumadi mengaku geram terhadap insiden yang berulang tersebut.
Berita Terkini:
- HKB 2025 di NTB: BNPB Target Regulasi Forum PRB Rampung Tahun ini
- Refleksi Gempabumi Lombok 2018, Diperlukan Sinergi Dunia Usaha dalam Mitigasi Bencana
- Izin Jalan Ribuan Sapi Bima Belum Keluar, Peternak Desak Gubernur NTB Segera Carikan Solusi
- Ibunda Bimbim Meninggal Dunia, Ini Lagu Haru Slank yang Terinspirasi Olehnya
- Profil Bunda Iffet Ibu Bimbim, Sosok Penting Penyelamat Slank dari Keterpurukan
Ia mengaku, pihaknya sudah berjuang mulai dari diskusi, audiensi, aksi demonstrasi hingga pelaporan pidana. Namun, katanya, semua diabaikan seakan empat nyawa yang telah tewas dan anak yang sedang bertarung nyawa dan dieksploitasi sebagai Joki, bukan anak yang patutnya tumbuh dan berkembang sebagai generasi penerus.
“PR (korban terbaru) harusnya dia bersama teman sebayanya mengenakan baju seragam sekolah, bahagia berangkat ke sekolah dan duduk manis dibangku ruang kelas 2 di salah satu SD di Kabupaten Dompu, namun sayang seminggu lalu 12 Mei 2024, harus meregang nyawa terinjak kaki kuda pacuan,” kata Joko.
Menurut Joko, anak seusia mereka tersebut, harusnya dilindungi sebagaimana semangat penghargaan Kota Layak Anak (KLA) dan PROVILA yang diraih Provinsi NTB.
“Kita tentu tidak ingin NTB dikenal sebagai daerah yang Kepala Daerahnya abai akan hak anak dan terus membiarkan kejadian kejahatan kemanusiaan yang terus membunuh raga dan cita generasi penerus,” tegas Ketua LPA Kota Mataram tersebut. (MYM)