Hukrim

Mirip Kasus Baiq Nuril, Korban Dugaan Pelecehan Seksual Manajer Hotel Jadi Tersangka UU ITE

Pihak penyidik Polres KLU melakukan pemeriksaan. Ada empat saksi yang diperiksa, salah satu teman PKL korban dan tiga saksi yang merupakan pekerja hotel.

Dari pemeriksaan yang dilakukan, penyidik Polres KLU langsung menyimpulkan bahwa tidak cukup bukti untuk melanjutkan penyelidikan kasus ini ke tingkat penyidikan.

Padahal, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pembuktiannya cukup dengan keterangan korban dan dikuatkan dengan bukti surat pemeriksaan psikolog klinis.

“Sementara Polres KLU tidak melakukan pemeriksaan psikolog klinis. Jadi kami melihat terlalu cepat penyidik menyimpulkan tidak kuat buktinya. Sedangkan, ketentuan UU TPKS belum dilaksanakan,” ungkap Yan.

“Dalam proses pemeriksaan juga, korban dapat perlakuan tidak baik, ada anggota Polres KLU meminta mencabut laporan,” sambungnya.

Atas kekecewaan yang didapat dari laporan tidak bisa ditindak lanjuti dan perlakuan anggota Polres KLU, korban membuat postingan di Facebook pribadinya pada tanggal 7 Juni 2023. Postingan itu tidak ada menyebut identitas siapa pun dan lokasi di mana pun. Postingan tersebut juga telah dihapus setelah sepuluh hari.

Kenyataannya, postingan yang telah dihapus itu dipermasalahkan oleh sang manajer hotel, tempat korban melaksanakan PKL di KLU.

Berita Terkini:

“Korban tiba-tiba didatangi oleh tiga anggota kepolisian yang mengaku dari Unit Siber Polda NTB tanggal 26 Maret 2024. Langsung datang ke rumah, dengan suara agak kasar seakan-akan sudah membuat kejahatan besar,” jelas Yan.

Korban yang dalam posisi sedang istirahat waktu itu pun terbangun, diajak ke Polsek Bayan. Korban sempat meminta atas dasar apa dirinya dipanggil. Hanya saja, tiga anggota kepolisian yang datang tidak bisa menunjukkan surat panggilan. Surat perintah tugas dan surat perintah penyidikan saja yang bisa ditunjukkan.

Alhasil, korban mengikuti permintaan tiga anggota kepolisian tersebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang baik.

“Saat pemeriksaan di Polsek Bayan, korban kaget postingannya yang dihapus itu dipermasalahkan. Karena kaget, korban juga tidak tahu kapasitasnya sebagai saksi atau tersangka waktu itu diperiksa. Korban juga tidak dikasih baca dan tidak dikasih salinan hasil pemeriksaan saat itu,” ungkap Yan.

Tiba-tiba di tanggal 28 April 2024, korban kembali mendapat surat yang dikirim Unit Siber Polda melalui anggota Polsek Bayan. Surat itu diterima oleh ayah kandung korban. Surat tersebut berisi pemanggilan untuk korban diperiksa sebagai tersangka di tanggal 2 Mei 2024 di Polda NTB.

“Ini sesuatu yang aneh, tidak pernah diperiksa, tiba-tiba ada surat panggilan sebagai tersangka dan penetapan tersangka. Korban langsung menghubungi Pak Joko Jumadi dan kami membentuk tim Suara Pembelaan untuk Perempuan Korban UU ITE NTB (SEPAK ITE) NTB, ada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (BKBH FHISIP) Unram, Walhi NTB, PBHM NTB, SAFEnet,” tambah Yan.

Tim SEPAK ITE NTB ini pun telah mendapatkan kuasa dari korban pada tanggal 30 April 2024. Tim akan bekerja untuk mengawal proses hukum dari korban, terutama kasus pelecehan seksual yang dialami.

Sementara itu, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unram, Joko Jumadi menegaskan, sebenarnya dari laporan yang disampaikan korban sudah cukup sebagai alat bukti bagi kepolisian menaikkannya ke penyidikan.

“Karena ada korban yang bersesuaian bisa jadi bukti. Pada UU TPKS, ada pengesampingan asas yang mana saksi harus dua orang. Jadi, dalam kasus kekerasan seksual satu saksi saja sudah cukup, tidak harus dua,” terangnya.

Lalu, di kasus teman korban yang juga merupakan peserta PKL di hotel tersebut, ada saksi yang melihat peristiwa itu dan sudah dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepolisian.

“Namun, kepolisian KLU tidak melakukan penanganan secara profesional, karena kesaksian dari korban dikesampingkan oleh polisi. Hanya berdasarkan pengakuan dari terlapor (manajer hotel) dan saksi yang merupakan anak buah dari terlapor, yang secara psikologi terlapor punya relasi kuasa dengan saksi tersebut,” kata Joko,

Di sisi lain, Joko mengungkapkan, bahwa ada CCTV yang dapat melihat peristiwa itu terjadi. Namun, seperti alasan klasik, CCTV dianggap rusak.

“Seharusnya, ketika kasus ini berjalan tidak sepenuhnya polisi hanya mempercayai pihak terlapor. Polisi seharusnya melakukan penyelidikan lebih lanjut, salah satunya dengan pemeriksaan psikologi yang dapat menyakinkan perkara. Pemeriksaan psikologi pelapor (korban) dan terduga pelaku (terlapor),” imbuh Joko.

Tetapi itu tidak dilakukan oleh Polsek KLU. Malah mengeluarkan SP2HP yang isinya kasus ini tidak cukup bukti sehingga tidak dilanjutkan.

Dalam konteks ini, korban sebenarnya sudah melupakan kasus tersebut. Namun, tiba-tiba ada penetapan korban sebagai tersangka dalam kasus UU ITE.

“Ini yang sebenarnya menjadi persoalan sehingga kasus ini harus dibuka kembali. Dalam konteks kekerasan seksual, UU TPKS sudah sangat jelas. Untuk melindungi korban dari adanya tuntutan balik dari terlapor,” tegas Joko.

Kalau kasus ini dibiarkan, maka akan banyak korban yang tidak berani bicara. Sehingga, pihaknya dengan Tim SEPAK ITE NTB berkomitmen mengawal kasus ini.

“Bukan sekadar untuk kepentingan korban, tetapi untuk kepentingan masyarakat, menghindari adanya pelaku-pelaku yang tidak terlaporkan karena korban tidak berani lapor,” tandas Joko. (JEF)

Laman sebelumnya 1 2

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button