Oleh: Salman Faris – Dosen di Malaysia/Cendikiawan NTB
Pertama, hingga kini saya tak pernah berjumpa dengan Haji Bambang Kristiono (HBK) dan Rannya Agustyra Kristiono. Kedua, saya adalah salah seorang pengkritik HBK. Untuk hal ini, saya telah membuat beberapa tulisan terkait kritik terhadap HBK. Salah satu yang banyak diperhatikan orang adalah ketika saya menyematkan HBK sebagai Dewa baru orang Sasak. Dalam hal ini, ada tiga terma yaitu Dewa, Pendewa dan Pendewaan. Ketiga terma tersebut secara konseptual dapat menjelaskan bahwa Dewa ialah HBK, pendewa ialah orang Sasak. Sedangkan pendewaan merupakan salah satu karakter penting orang Sasak.
Sejarah pendewaan ini dapat dikatakan terbentuk sejak orang Sasak itu ada. Kemudian berevolusi dalam simbol-simbol budaya dan sosial sesuai dengan perkembangan era. Karakter pendewaan orang Sasak ini, sejatinya disebabkan oleh banyak hal. Namun yang paling menonjol ialah kemiskinan. Orang Sasak yang dalam sejarah panjang peradaban mereka dalam kemiskinan terstruktur, di mana kemiskinan itu merupakan hasil akhir dalam usaha kelompok dominan (power) yang bersambung gayung dengan orang Sasak yang lemah secara ekonomi dan politik. Hegemoni dan konsensus beriringan secara terus-menerus dalam hampir semua aspek kehidupan orang Sasak. Bahkan dalam institusi keagamaan.
Fenomena tersebut telah berperan penting dalam kedudukan HBK di tengah orang Sasak. HBK memiliki kekuasaan politik, kekuatan ekonomi dan karakter filantropi. Ketiga hal ini merupakan perpaduan modal yang sangat sempurna untuk dapat dengan mudah menundukkan orang Sasak. Atau tepatnya menundukkan diri. Mengabdikan diri sepenuh raga dan jiwa.
Secara konseptual pendewaan tersebut mengalami perubahan. Jika dahulu, pendewaan berdampak secara asosiatif kepada penjajahan, penghambaan dan perbudakan. Pada era terkini, terminologi tersebut mungkin tidak tepat digunakan meski secara praktikal beberapa unsur dan ciri di dalamnya masih dapat dijumpai secara samar.
Lantas kenapa saya mengambil posisi sebagai pengkritik HBK?
Saya mencoba merefleksikan kritik tersebut ke dalam dua ruang yang satu sama lain saling menopang. Setelah saya menyelami secara lebih kompleks, maka saya dapat memahami bahwa kritik terhadap HBK merupakan perasaan cemburu.
Kecemburuan sosial, politik, ekonomi dan budaya ialah salah satu watak dasar orang-orang kalah. Watak yang membelenggu satu bangsa yang sangat dirasakan, terutama selepas kolonial. Watak tersebut dapat tervisualisasi dalam sikap peniruan, penentangan bahkan perlawanan (resistensi).
Meniru kebiasaan hidup dan budaya kaum berkuasa lalu mencampurnya ke dalam bagian-bagain budaya dan kebiasaan hidup sendiri merupakan cara paling moderat kaum terjajah mempertahankan diri. Dalam hal ini Homi Bhaba menyebutnya sebagai mimikri.
Namun yang menjadi soal ialah, saya tak dapat meniru setitik pun kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi HBK. Jarak saya dengan HKB terlalu jauh dan tinggi. Pada sisi yang lain, tentu saja era sekarang tidak memungkinkan untuk saya melakukan perlawanan, apalagi secara brtual. Maka, yang tumbuh dalam diri saya ialah kecemburuan. Cemburu yang benar-benar cemburu karena hanya itu yang dapat dilakukan. Meskipun sebagian kecil dari kecemburuan besar tersebut tertuang ke dalam kritik, tetapi sejatinya ia tak dapat mewakili keseluruhan penderitaan kecemburuan tersebut.
Saya cemburu karena HBK mampu dan berhasil dengan cemerlang mewujudkan sebagain imajinasi saya tentang Sasak. Dengan modal kekuasaan politik dan kekuataan ekonomi, HBK dengan mudah mewujudkan imajinasi kesasakan yang oleh saya sendiri, tentu saja hampir mustahil dapat direalisasikan. Sebagai orang Sasak, sudah pasti, saya ingin melihat Sasak terdepan, memilik harga diri, mempunyai kehormatan, mendapatkan peluang yang sama dengan bangsa lain. Potret imajinasi tersebut tentu saja dapat dilukis dalam bentuk pembangunan manusia dan infrastruktur lainnya.
Namun karena saya tidak memiliki kekuasaan politik dan kekuataan ekonomi seperti HBK, maka imajinasi itu hanya berkelindan dalam ruang kosong. Ia lama-lama dapat membahayakan jika sudah masuk ke lorong hayalan.
Sebagai orang Sasak, saya dapat pastikan, saya terlebih dahulu berimajinasi orang Sasak dapat memilki klub sepak bola yang hebat dan ternama. Bahkan sejak ahun 1986, ketika Argentina menjadi juara dunia sepakbola, imajinasi ini sudah tertanam sangat dalam. Karena saya membayangkan, betapa Argentina dan Maradona ketika itu, menjadi buah bibir semua orang di muka bumi ini. Argentina dan Maradona ketika itu sangat terkenal dan sangat dihormati sekaligus dikagumi oleh dunia. Terlebih saat itu, yang dikalahkan adalah Jerman Barat. Satu negara yang jauh di atas Argentina. Sudah terpikir, sepak bola ialah politik dan strategi selain dilihat sebagai olah raga. Karena itu, jika menjadi juara, maka bangsa yang terjajah pun dengan cepat memiliki kehormatan sekaligus kekuatan.
Imajinasi itu terus mengalir. Bahkan alirannya semakin deras ketika saya semakin memahami betapa keterjajahan orang Sasak ialah persoalan utama Sasak itu sendiri. Saya benar-benar disiksa oleh imajinasi saya sendiri karena hingga lebih dari tiga dekade, ia masih berupa imajinasi. Bayang-bayang yang semakin kabur karena saya sudah sampai pada satu fase di mana, saya menyadari bahwa hal tersebut tak mungkin dapat saya wujudkan. Klub sepak bola bukan barang murah dan mudah. Perlukan duit yang sangat banyak. Memerlukan juga sumber daya manusia pemain dan pengelola yang mumpuni. Juga diperlukan kekuasaan politik. Sesuatu yang samasekali tidak ada pada diri saya.
Tiba-tiba pada tahun 2021, setelah HBK mengakuisisi klub sepak bola Garuda Muda, HBK secara permanen mendirikan Lombok FC. Klub sepak bola yang dikelola secara profesional. Satu pengelolaan sepak bola yang sangat terbarukan. Ada beberapa hal penting terkait hal ini. Jika ditilik dari konteks zaman, di mana talenta muda Lombok dalam sepak bola sudah berjamur di mana-mana, di tambah kesadaran masyarakat terhadap strategis dan pentingnya sepak bola, maka apa yang dilakukan oleh HBK merupakan pencapaian tonggak sejarah.
HBK berhasil menampung, atau membuka pintu keluar (eksisting) bagi talenta muda sepak bola untuk dapat berkiprah secara luas di dunia. Ini merupakan mimpi semua anak muda yang menggemari sepak bola. Maka apa yang dilakukan HBK, sebaiknya dilihat sebagai kecemerlangan sekaligus kegemilangan.
Selain itu, dari segi Lombok FC sebagai strategi dan politik kebangsaan orang Sasak, HBK sekaligus membuka jalan terbentang. Terutama sekali jika merujuk kepada tujuan besar HBK untuk menjadikan Lombok FC sebagai klub sepak bola papan atas, setidaknya di Indonesia. Dalam hal ini, Lombok FC sudah pasti sebagai busur Sasak untuk mendapatkan tempat terhormat di tengah bangsa lain di masa mendatang.
Bagaimana saya tidak cemburu? Bertahun-tahun saya hanya memeram imajinasi tentang sebuah klub sepak bola yang dimiliki orang Sasak, namun HBK yang, baru saja datang ke Lombok yang dapat merealisasikan imajinasi tersebut.
Tidak perlu waktu lama, dengan modal kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi, terwujud juga imajinasi orang kalah dan miskin. Keberpihakan politik dan ekonomi HBK memudahkan sendatan imajinasi orang miskin dan kalah seperti saya.
Sebagai orang Sasak yang tahu betul bahwa masalah utama orang Sasak ialah kemiskinan, sudah pasti sudah sangat lama saya berimajinasi sebagai filantrofis, orang kaya yang menyekolahkan ribuan orang Sasak. Hanya saja, imajinasi itu terus menua seiring waktu, jangankan untuk menyekolahkan ribuan orang Sasak miskin, bahkan untuk menyekolahkan diri sendiri saja, aduhai pahit dan getirnya. Maka jadilah saya berkubang dalam imajinasi sebagai filantrofis dan kemiskinan saya sendiri.
Untuk hal terebut, sekali lagi, melalui Yayasan HBK Peduli, HBK merebut imajinasi yang sudah tumbuh pada darah saya bertahun-tahun dalam sekelip mata dan dengan sangat mudah. HBK menyekolahkan anak-anak Sasak yang miskin. Termasuk mereka yang diambil bergabung ke dalam Lombok FC. Mereka dibiayai pendidikan secara penuh.
Sudah pasti, sebagai orang Sasak yang tumbuh dalam kemiskinan yang mengenaskan, saya berimajinasi untuk memiliki lembaga non profit yang berperan besar dalam mengentaskan kemiskinan dan mengeluarkan Sasak dari keterjajahan yang terapung. Untuk imajinasi yang satu ini, saya mengalami hal serupa. Tak ada modal politik dan ekonomi. Dan sudah pasti juga HBK yang merebut bulir imajinasi itu. Yayasan HBK Peduli, menusuk mata batin saya yang hanya pandai membangun konsep dan payung imajinasi. Sementara HBK dapat melakukan kebaikan yang di maui kepada orang Sasak. Saya benar-benar cemburu. Saya punya kemampuan namun bermodal miskin. Sedangkan HBK mampu sekaligus berkecukupan modal.
Pada ruang kedua, kritik saya kepada HBK pada dasarnya merupakan otokritik kepada anggota DPR RI dari kalangan orang Sasak sendiri.
Saya teringin mereka seperti HBK yang, nyata-nyata bukan orang Sasak. HBK ialah pendatang yang mendapat ruang terbuka nan terhormat di kalangan Sasak karena HBK tahu dengan cepat apa yang paling diperlukan orang Sasak. Ini penting karena sebenarnya tidak semua anggota DPR RI Dapil Lombok yang bukan orang Sasak memiliki komitmen dan kiprah yang sama dengan HBK. Ada di antara mereka yang hanya menjadikan Lombok sebagai lumbung suara, namun padi dalam lumbung ditumpuk dan digiling sendiri.
Saya menjadikan HBK sebagai medium otokritik terhadap orang sasak yang menjadi anggota DPR RI bukan karena mereka tidak berbuat. Hanya saja, apa yang dilakukan oleh mereka lebih kepada mengurus kepentingan sendiri.
Mereka adalah wakil rakyat yang belum selesai dengan diri mereka sendiri. Mereka memanen keuntungan dengan berbagai pola. Ada yang berpola pendidikan yang sepintas nampak berguna bagi masyarakat, namun sebenarnya ia merupakan lumbung pribadi. Ada juga berpola yayasan, namun sama saja. Yayasan untuk menabur emas di laci sendiri. Satu situasi yang secara objektif dapat dilihat sangat berbeda dengan apa yang diperbuat oleh HBK.
Dengan begitu, dalam masa yang sama, saya merasakan kecemburuan kepada HBK sekaligus kegeraman yang berlubang kepada mereka yang mengaku Sasak, menjadi wakil rakyat di DPR RI, namun hanya bertulang punggung belakang tidak menabur ke halaman orang Sasak.
Perbuatan wakil rakyat dari kalangan Sasak itu ialah watak dasar. Jadi, jika ada perubahan yang terjadi, bukanlah sesuatu yang besar.
Mereka diberi kekuasaan untuk memagari rumah dan keluarga sendiri. Ini watak dasar yang saya maksudkan. Karena secara umum, mereka terlahir dari rahim sejarah yang sama dengan Sasak lainnya, maka begitu ada kekuasaan di tangan, momentum itu dijadikan titik balik untuk menyuburkan halaman rumah sendiri sepanjang kekuasaan itu masih di tangan mereka. Orang Sasak yang lain hanya dijadikan alas duduk (sentauk), lalau disirami tempias kecil.
Sekadar sebagai pelipur bagi orang Sasak miskin. Mereka nihil visi besar ke-Sasakan. Dan mereka tidak mengetahui keperluan dasar orang Sasak sebagai kesatuan bangsa. Mereka hanya fokus dan tahu kepentingan mereka sendiri saja. Sekali lagi, ini watak dasar sejarah orang Sasak yang juga melekat dalam diri wakil rakyat di DPR RI.
Kehadiran HBK dalam ruam perilaku wakil rakyat dari kalangan Sasak itu, menjadi antitesis yang tepat. HBK mungkin sudah selesai dengan diri sendiri sehingga dalam waktu yang singkat sudah mendalami keperluan dasar orang Sasak.
Mengenali masalah utama Sasak ialah kemiskinan sistemik. Dengan begitu, maka diperlukan tindakan sistematis. Hal ini tercermin dari pola pemikiran dan tindakan HBK terkait Sasak.
HBK seorang pengusaha, namun fokus usahanya tidak di Lombok. Sebab baginya, Lombok hanya untuk fokus kepada membantu orang Sasak keluar dari bilahan kemiskinan dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan peluang kehormatan.
Hanya saja, sebagai pengkritik pendewaan, sudah pasti saya tidak berada di wilayah mendewakan HBK. Itulah kenapa saya merefleksikan kritik saya terhadap HBK sebagai kecemburuan.
Sebab bagi saya, apa yang dilakukan oleh HBK, seharusnya dapat lebih besar dilakukan oleh mereka yang menjadi wakil rakyat dari kalangan orang Sasak. Namun begitulah, sejarah rupanya terus berulang. Sebagai orang bukan Sasak, HBK malahan meninggalkan legasi yang sangat penting dan sesuai keperluan Sasak. Legasi, yang saya lihat akan memberikan dampak secara terus-menerus. Legasi yang susah habis, tetap hidup, dan selalu diterima oleh orang Sasak.
Dan salah satu legasi itu ialah anaknya: Rannya Agustyra Kristiono. (*)
Malaysia, 10 Januari 2024.