Mataram (NTBSatu) – Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTB, Eny Chaerany menyebut, kemiskinan menjadi faktor teratas penyebab maraknya kasus kekerasan seksual pada anak.
“Berdasarkan laporan yang kami tangani, mayoritas korban memang berasal dari kalangan ekonomi bawah,” ungkap Eny pada NTBSatu, saat ditemui di kantornya, Kamis, 18 Januari 2024.
Menelisik data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, terdapat 751,23 ribu jiwa penduduk yang berada pada garis kemiskinan dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per kapita per bulan.
Maka tidak heran, dengan kesibukan untuk mencari nafkah, anak menjadi minim pengawasan dari orangtuanya. Sehingga, mereka menjadi sasaran empuk para pelaku kekerasan seksual.
“Contoh lainnya, orang tua korban bercerai. Lalu mereka dititipkan pada kakek neneknya yang sudah tua dengan kondisi keuangan dan fisik yang lemah. Jadi, anaknya dibiarkan bebas bermain ke mana saja, tidak diperhatikan,” cerita Eny.
Berita Terkini:
- Dibantai Jepang 6-0, Begini Kelanjutan Nasib Indonesia di Piala Dunia
- Permintaan Ganti Rugi Kasus Smart Class Tidak Memenuhi Syarat, Kadis Dikbud NTB: Ini Bukan Wanprestasi
- Jaksa Beberkan Peran Zaini Arony Rugikan Negara Rp39 Miliar Kasus LCC
- Musda Terus Tertunda, Golkar NTB Jamin Tak Ganggu Agenda Partai
Namun, ia melanjutkan, tidak menutup kemungkinan, pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat atau pun keluarga.
Mereka yang seharusnya menjadi tempat bernaung yang aman dan dipercaya korban, ibarat serigala berbulu domba. Karena seringnya berinteraksi secara langsung, korban menjadi lengah dan tidak mawas diri.
“Oleh karenanya, penting mengajarkan pendidikan seks sejak dini pada anak. Anak harus tahu bahwa tubuh mereka berharga. Tidak boleh disentuh orang lain. Ajarkan anak untuk berteriak atau berkata tidak bilamana ada orang yang berani menyentuh bagian intim mereka,” terangnya.