Mataram (NTBSatu) – Beberapa pekan terakhir, Rupiah perlahan semakin melemah dan terdepresiasi. Bahkan, pada pembukaan pasar Senin, 23 Oktober 2023, mata uang Garuda ini dibuka pada posisi Rp15.870/US$ dan terus melemah menjelang pertengahan hari.
Berdasarkan pantauan NTBSatu pada data yang disajikan Refinitiv CNBC Indonesia, pukul 12.05 Wita, Rupiah naik perlahan menyentuh level psikologis Rp15.965/US$ atau melemah sebesar 0,76 persen.
Para pelaku pasar mengatakan ada beberapa level yang harus diwaspadai, seperti saat Rupiah tembus ke Rp15.600/US$ menjadi suatu peringatan, alarm yang mengingatkan bahwa batas kenaikan rupiah sudah terlampaui dan berpotensi akan ambruk lebih dalam lagi.
Berita Terkini:
- Kemnaker Soroti PHK Massal di ANTV: Demokrasi dan Hak Pekerja dalam Bahaya
- Ketua Relawan Zul Suhaili Milenial Ucapkan Selamat kepada Iqbal – Dinda, Ajak Kawal Kebijakan Gubernur Terpilih
- Banjir Bandang Terjang Pulau Sumbawa, Nestapa di Ujung Tahun 2024
- Penetapan NTB sebagai Tuan Rumah PON 2028 Masih Tunggu SK Kemenpora
Voltalitas menurunnya Rupiah juga dinilai cukup tinggi. Sebab pada April, posisinya menguat sebesar Rp14.770/US$, namun sayangnya harus ambrol Rp15.000/US$ di bulan Juli, terus melemah memasuki Agustus hingga puncaknya pada Oktober ini.
Banyak faktor yang menyebabkan kondisi ini, salah satunya selisih suku bunga di AS dan pasokan dolar di Indonesia yang sedikit memicu terpuruknya mata uang RI, ditambah dengan ketidakpastian keadaan geopolitik yang sedang berlangsung di Timur Tengah dan sentimen menjelang masa pemilu di tanah air.
Adapun Bank Indonesia merespons perlemahan Rupiah dengan menetapkan kenaikan suku bunga acuan yaitu BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), dari 5,75 persen menjadi 6,0 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis, 19 Oktober 2023 lalu.
Kebijakan BI diharapkan mampu menjaga daya tarik investasi aset dalam bentuk Rupiah di tengah ketidakpastian global.