“Masalahnya kalau seandainya sudah punya HPL, kemudian kami diminta membayar klaim dari masyarakat, sementara HPL itu sudah bukti pelunasan pembayaran sejak tahun kapan itu, kalau kita bayar lagi sekarang kan kita jadi bayar dua kali. Ini di mata hukum kita salah,” jelasnya.
Yudhistira menegaskan, persoalan pembayaran lahan itu sudah diselesaikan oleh pendahulu ITDC sebelumnya, yakni LTDC. Karenanya sekitar tahun 2008 dan 2009 ITDC menerima sertifikat lahan tersebut dari pemerintah.
“Kami tentu percaya sertifikat yang diberikan kepada ITDC oleh pemerintah adalah sertifikat yang sudah sah. Pastikan sudah melalui proses verifikasi,” jelasnya.
Baca Juga : Jukir Minimarket Pakai Mobil Viral dan Jadi Sorotan Netizen
Data yang dipegang oleh masyarakat saat ini, kata Yudhistira, bukan jaminan sah secara hukum. Karena data kepemilikan tanah yang sah secara hukum adalah Sertifikat Hak Milik (SHM).
Sementara data yang dimiliki oleh warga tersebut adalah data sporadik, yakni satu ketentuan atau dokumen yang diterbitkan oleh kepala desa setempat, yang hanya menyatakan penguasaan fisik bukan kepemilikan secara hukum.
“Data yang dibawa oleh teman-teman yang klaim itu bukan sertifikat tapi data sporadik. Beda loh penguasaan fisik dengan kepemilikan,” terangnya.
Baca Juga : Shuttle Bus Gratis di BIZAM Dipindahkan ke Eks Embarkasi Haji