Mataram (NTB Satu) – Acara kuliah umum yang dirangkaikan dengan bedah buku “Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999” berlangsung di Gedung Dome Universitas Mataram (Unram).
Acara tersebut menghadirkan pembicara Guru Besar Fakultas Hukum Unram Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH., SU, Mantan Anggota DPRD NTB sekaligus Ketua Presedium Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM) 1990 – 1994 Nurdin Ranggabarani, SH., MH., Pimpinan Umum Suara NTB Grup H. Agus Talino, serta menghadirkan keynote speaker dari Anggota VI BPK RI Dr. Pius Lustrilanang sekaligus mantan Sekjen Aldera atau Aliansi Demokrasi Rakyat. Pius adalah penggagas dari buku Aldera ini sekaligus pelaku sejarah dalam pergerakan reformasi.
Prof. Zainal Asikin dalam pemaparannya mengatakan, saat reformasi bergulir tahun 1998 ia sudah menjadi dekan FH Unram. Namun para mahasiswa yang menjadi aktivis saat itu sering berdiskusi tentang pergerakan dalam rangka menjatuhkan Orde Baru. Bahkan aktivis pusat yang datang ke Mataram berkumpul di tempatnya untuk menggelar diskusi.
Ia menilai, gaya bertutur para penulis di dalam buku ini sangat bagus. Seolah pembaca berada di ruang dan waktu peristiwa itu terjadi. Buku ini merekam salah satu episode perlawanan terhadap rezim otoritariansime Orde Baru di awal tahun 1990-an hingga kejatuhan Soeharto.
“Ada teori dalam ilmu hukum yang mengatakan bahwa ternyata pemegang peran organisasi mahasiswa, ekonomi dan politik itu lebih kuat dibandingkan dengan rezim penguasa. Maka di buku ini menceritakan mengapa tumbangnya kekuasaan yang kalah dengan kekuatan-kekuatan non hukum,” katanya.
Ketua Presedium FKMM 1990 – 1994 Nurdin Ranggabarani mengatakan, pada tanggal 2 Februari 1998 silam, Sekjen Aldera Pius Lustrilanang diculik di depan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM), tiga bulan menjelang kejatuhan Soeharto. Itu merupakan salah satu momentum yang membuat gerakan mahasiswa di Tanah Air makin luas.
Temasuk mahasiswa di Kota Mataram dan NTB secara umum ikut menyuarakan dan melakukan gerakan reformasi untuk mengakhiri rezim Orde Baru. Dengan demikian, mahasiswa di Kota NTB seperti Unram, Muhammadiyah Mataram, IKIP ( sekarang Undikma ) dan kampus-kampus lainnya di NTB ikut berkontribusi terhadap lahirnya reformasi Indonesia tahun 1998.
“Di buku Aldera ini, nama Kota Mataram seringkali disebut , itu artinya bahwa mahasiswa di Mataram dan NTB ikut tampil dalam pergerakan reformasi. Ini berarti kontribusi mahasiswa NTB dalam reformasi sangat besar,” kata Nurdin.
Ia berpesan kepada semua mahasiswa yang hadir dalam kegiatan bedah buku tersebut agar aktif membangun jaringan nasional. Selain dengan kelompok mahasiswa dari kampus-kampus lain di Tanah Air, membangun jaringan dengan media dan elemen pergerakan lainnya sangat penting.
“Jangan merasa minder karena kita berada di daerah. Kalian adalah mahasiswa Indonesia yang kebetulan merada di Kota Mataram. Karena itu bangunlah jaringan agar kuat, sehingga tumbuh solidaritas antar sesama. Kalau mereka bisa, kita juga harus bisa,” terang Nurdin.
Sementara itu Pemimpin Umum Suara NTB Grup H. Agus Talino mengatakan, bahwa di era reformasi itu, ia adalah wartawan yang aktif meliput dan menulis pergerakan mahasiswa, termasuk Ketua FKMM Nurdin Ranggabarani. Tak hanya mahasiswa, ia juga menulis tokoh-tokoh yang berani berbicara dan kritis terhadap Orde Baru seperti Prof. Zainal Asikin.
“Pada saat itu tak banyak narasumber yang berani bicara . Saya sering datang ke tokoh-tokoh tertentu untuk saya wawancarai terhadap kebijakan pemerintah. Banyak yang memilih menghindar, tapi Alhamdulillah saya masih punya sahabat Prof. Asikin,” tuturnya.
Menurutnya, jalan menjadi aktivis saat itu tidak mudah. Namun para aktivis mahasiswa memilih jalan itu. Sebab hidup itu memang harus ada yang dipertaruhkan untuk hal-hal yang besar, tak hanya untuk kepentingan diri pribadi, namun untuk kepentingan kemanusiaan dan masyarakat luas. Pertemuan dengan kelompok aktivis kata Agus, tidak saja saat melakukan liputan, namun di luar urusan liputan.
“Bahkan pernah dalam satu peristiwa, ketika Pak Nurdin habis melakukan pertemuan di salah satu rumah makan di Mataram, dia ditabrak kendaraan. Kakinya patah, kita larikan ke Rumah Sakit. Teman-teman mengobati Pak Nurdin tak hanya dengan obat, namun dengan semangat,” kenangnya.
Terkait dengan buku Aldera ini, ia menilai cara menulis dan bertutur sudah sangat bagus. Penulis buku ini seolah mengajak pembaca mengunjungi masa lalu. Banyak perspektif yang disajikan dalam buku ini, tidak saja soal Pius Lustrilanang yang banyak dibahas, namun cara mendiskripsikan peristiwa dan cerita yang sudah bagus.
“Catatan saya, godaan hidup apalagi godaan jabatan sangat besar. Pak Pius sudah menjadi pejabat sekarang, punya nama besar, sama besarnya ketika beliau menjadi aktivis. Mudah-mudahan Pak Pius selalu istiqomah selalu ingat tidak melakukan sesuatu yang dipersoalkannya dulu,” pesannya.
Mantan Sekjen Aldera Dr. Pius Lustrilanang yang menjadi keynote speaker dalam bedah buku tersebut berharap hadirnya buku ini bisa mencerahkan mahasiswa yang membacanya. Setiap generasi memiliki tantangan yang berbeda-beda. Di era reformasi misalnya, tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa saat itu adalah sistem yang otoriter.
Namun saat ini tantangan mahasiswa adalah munculnya gagasan perpanjangan masa jabatan Presiden, wacana tiga priode Presiden dan wacana penundaan Pemilu. Terhadap semua isu ini, ia berharap mahasiswa mengawalnya dalam rangka menjaga demokrasi.
“Saya percaya gerakan mahasiswa akan bisa menjadi gerakan pengontrol pemerintah. Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tak pro rakyat, mahasiswa harus turun tangan,” katanya.(ADH/ZSF)