Mataram (NTB Satu) – Perajin gerabah di sentra industri di Desa Banyumulek, Kediri, Lombok Barat saat ini masih bergantung pembelian dari tamu domestik. Sedangkan untuk ekspor, beberapa perajin tidak mendapatkan permintaan dari luar negeri.
Seperti yang dialami oleh seorang pengepul di Toko Banyu Andika bernama Hulaimi. Ia mengaku, penjualan di tokonya menurun drastis karena tidak ada lagi permintaan dari luar negeri.
Salah satu penyebabnya karena adanya peristiwa bom Bali pada 2002. Peristiwa kelam itu dianggap turut memutus mata rantai bisnis para perajin di desa wisata tersebut.
“Dulu permintaan dari Amerika dan negara lainnya. Kalau sekarang sudah tidak ada, semenjak adanya peristiwa bom Bali itu,” ujar seorang ibu yang meneruskan bisnis dari orang tuanya itu, Rabu, 10 Agustus 2022.
Saat ini, tokonya hanya bergantung dari kunjungan tamu domestik. Meski sedikit, tetapi diakui cukup untuk menjalankan bisnis. “Cuma tamu lokal yang ada, tapi ada saja setiap hari walaupun sedikit,” akuinya.
Ditanya soal kunjungan pembeli saat ramainya perhelatan internasional di Lombok seperti MotoGP dan WSBK, ia menyebut tidak ada dampak bagi tokonya, bahkan bagi Desa Banyumulek.
“Tidak ada lonjakan tamu yang datang ke sini, sama saja, sepi,” tuturnya.
Mengenai pendapatan, Hulaimi tak menyebutkan secara detail, hanya diakui cukup jauh menurun dari penghasilan saat masa kejayaannya dulu. Ia pun berharap, agar adanya campur tangan pemerintah untuk menggeliatkan kembali pemasaran gerabah khas Banyumulek, terlebih di sisi ekspor.
Toko Banyu Andika menjual berbagai jenis gerabah dengan berbagai ukuran, seperti asbak, teko, mug, pot, hingga tong air. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp5 ribu hingga Rp200 ribu untuk gerabah berukuran besar. (RZK)