Mataram (NTB Satu) – Angka penderita Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di NTB pada 2021 tercatat cukup tinggi. Memasuki semester II 2022, angka penderita ODGJ diprediksi bakal terus meningkat.
Terlebih, saat ini dunia sedang dalam fase penyembuhan setelah perlahan-lahan mulai melepaskan diri dari cengkraman pandemi Covid-19. Manakala membicarakan mental manusia, memang tidak terdapat hal pasti. Namun, peristiwa dan lingkungan dinilai dapat menjadi bahan rujukan dalam memprediksi angka ODGJ di NTB bakal terus meningkat pada 2022.
Dosen Psikologi Institut Agama Hindu Negeri (IAHN) Gde Pudja Mataram, Ni Luh Drajati Ekaningtyas, M.Psi., mengatakan, angka penderita ODGJ di NTB berjumlah 13.776 orang pada 2021, data tersebut diperoleh dari Dinas Kesehatan NTB. Namun, mengenai data keseluruhan yang tidak tercatat, belum ada yang mengetahui secara pasti. Memasuki semester II 2022, menurut Ni Luh Eka, tren ODGJ sepertinya bakal terus meningkat.
“Dilihat dari kejadian di dunia yang sedang dalam fase penyembuhan akibat pandemi Covid-19, sepertinya tren ODGJ akan terus meningkat. Kemeningkatan tersebut dapat menjadi cerminan bahwa kesadaran masyarakat akan penyakit mental makin tinggi,” ungkap Ni Luh Eka kepada NTB Satu, Minggu, 7 Agustus 2022.
Apabila membicarakan tren ODGJ di Indonesia, maka setiap tahun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil penelitian yang Ni Luh Eka lakukan bersama beberapa rekannya, tren ODGJ yang terus meningkat didasari oleh gejala depresi dan kecemasan. Menurut laporan World Health Organization (WHO), gejala depresi dan kecemasan masuk ke dalam kategori gangguan mental umum.
“Kemeningkatan ODGJ disebabkan oleh perubahan yang mendadak dan mendasar dalam proses kehidupan,” terang Ni Luh Eka.
Masalah utama pada ODGJ adalah kesehatan mental, pikiran, dan perasaan seseorang yang kemudian termanifestasi dalam bentuk perilaku. Menurut Ni Luh Eka, ODGJ masuk ke dalam kategori kesehatan mental. Gejala-gejala yang timbul pada ODGJ adalah perubahan perilaku.
Pada umumnya, ODGJ kerap mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, terdapat pula ODGJ yang berperilaku normal dalam kehidupannya sehari-hari, yakni ODGJ yang sedang dalam masa penyembuhan.
Perempuan lebih rentan terpapar gangguan mental dibandingkan dengan laki-laki. Pemaparan tersebut sesuai dari berbagai data pada pusat kesehatan yang ada di NTB. Rata-rata rentang pengidap gangguan mental dimulai dari usia remaja hingga dewasa awal. Dalam usia tersebut, terdapat masa peralihan yang membuat penemuan stresor berbeda.
Secara umum, menurut Ni Luh Eka, penderita ODGJ kerap didominasi oleh penduduk kota besar.
“Jika mengacu NTB, kemungkinan besar daerah yang paling banyak terpapar gangguan mental ialah Kota Mataram dan Lombok Barat, karena pusat kota dan besar,” ujar Ni Luh Eka.
Sampai saat ini, pikiran masyarakat terhadap penyakit mental pun mulai berubah. Dahulu, masyarakat memandang penyakit mental sebagai aib. Kini, pikiran tersebut berangsur-angsur mulai berubah menjadi penyakit yang dapat disembuhkan.
Apabila perasaan ketertekanan mental setiap individu menguat, segera menghubungi atau mendatangi para ahli. Ni Luh Eka mengimbau agar tidak melakukan diagnosa secara personal atau self–diagnose. Pasalnya, hal tersebut dapat berakibat fatal, baik bagi diri sendiri dan orang lain.
“Setiap individu memang memiliki cara healing tersendiri dalam menetralisir perasaannya. Namun, apabila telah cukup parah atau overwhelm, silakan hubungi para ahli,” papar Ni Luh Eka.
Penyebab dari gangguan mental cukup beragam, mulai dari genetis, psikologis, lingkungan, dan lain sebagainya. Sehingga, gangguan mental sebenarnya dapat dicegah. Masyarakat dapat diberikan edukasi mengenai tata cara pencegahan gangguan mental.
“Dalam proses pencegahan tersebut, tentu saja hal yang paling diharapkan adalah pengidap gangguan mental makin menurun,” sebut Ni Luh Eka.
Salah satu penyebab dari gangguan jiwa adalah faktor genetis. Namun, tidak seluruh kasus gangguan jiwa disebabkan oleh faktor genetis. Gangguan jiwa dapat disebabkan sejak bayi masih dalam kandungan, penyebabnya adalah ibu hamil yang mengonsumsi obat-obatan yang berlebihan dan lain-lain.
Oleh karena itu, sangat penting menjaga kesehatan ibu dan anak, terlebih pada saat hamil. Selain itu, lingkungan yang toxic, dramatis, dan cenderung tidak supportif, dapat menghasilkan perasaan traumatis yang bakal menyebabkan gangguan mental.
“Seluruh ODGJ tidak boleh lagi dianggap sebagai aib, dikucilkan, didiskriminasi, dan dianggap sebagai beban. Diskriminasi pada ODGJ, hanya akan memperparah kondisi individu tersebut,” tekan Ni Luh Eka.
Beberapa hal umum yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental adalah mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang. Olahraga juga diperlukan untuk terus menjaga kesehatan mental, sebab dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Kemudian, melakukan hal-hal yang disenangi, atau hobi di luar pekerjaan yang tidak akan merugikan orang lain, sangat direkomendasikan.
“Mengenai sampai kapan tren ODGJ meningkat, kehidupan akan selalu hadir bersamaan dengan masalah-masalahnya. Sementara, setiap individu memiliki ketahanan stres yang cenderung berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia perlu selalu beradaptasi oleh tekanan serta tuntutan hidup,” jelas Ni Luh Eka.
Apabila ketahanan dan kemampuan untuk beradaptasi manusia makin tinggi, maka angka penderita ODGJ tidak akan setinggi saat ini.
Kepada seluruh elemen masyarakat, Ni Luh Eka menyarankan agar menumbuhkan kesadaran kolektif tentang bahaya gangguan mental. Masyarakat perlu mengetahui serba-serbi ODGJ dan gangguan mental.
“Jangan sampai tren healing yang kini berkembang hanya membawa kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Janganlah bersembunyi di balik kesehatan mental yang bertujuan hanya untuk merugikan orang lain. Yang terakhir, tetaplah lakukan kebaikan,” pungkas Ni Luh Eka. (GSR)