Mataram (NTB Satu) – Proyek kereta gantung Rinjani di sekitar Desa Aik Berik, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat kembali berlanjut. Pro dan kontra terkait pembangunan kereta gantung Rinjani bermunculan. Akademisi kehutanan dari Universitas Mataram (Unram) turut memberikan pendapat terkait risiko yang perlu diperhatikan dari proyek kereta gantung di Rinjani itu.
Ketua Jurusan Kehutanan Unram, Dr. Andi Chairil Ichsan, S.Hut., M.Si., mengatakan, kereta gantung Rinjani tidak boleh membuat keberlangsungan hidup flora dan fauna terganggu. Seluruh pihak terkait perlu memperhatikan potensi risiko dari kerusakan ekologi. Lebih lanjut, Andi menegaskan, investasi tidak boleh menantang kodrat alam.
“Pertama-tama, perlu dilihat apakah pembangunan kereta gantung terletak di luar atau di dalam Taman Nasional. Karena, peraturannya itu beda-beda. Selain itu, dampak kereta gantung bagi keberlangsungan serta respons masyarakat sekitar juga perlu dipertimbangkan,” ungkap Andi, ditemui NTB Satu di ruang kerjanya, Senin, 25 April 2022.
Jika melihat kereta gantung melalui perspektif ekologi, tentu perlu memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sebelum membangun kereta gantung, pihak terkait perlu memperhatikan kawasan ekosistem kawasan Gunung Rinjani agar senantiasa tidak terganggu.
“Kereta gantung itu bukan permanen. Tapi, jangka panjang, bisa sampai puluhan tahun. Oleh karena itu, terdapat tahapan pasca-operasi. Sebelum itu, melihat proses konstruksinya juga penting. Terlebih jika mengganggu aspek sosial, ekonomi, dan budaya,” ujar Andi.
Andi menyampaikan, memikirkan soal keberlangsungan hidup flora dan fauna di sekitar kawasan pembangunan kereta gantung juga sangat penting.
“Saya kira, yang paling perlu diperhatikan pihak terkait adalah soal pertimbangan aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Pihak terkait perlu memikirkan soal distribusi manfaat yang nantinya dirasakan oleh seluruh entitas yang ada di sekitar area pembangunan kereta gantung,” ucap Andi.
Menurut Andi, uang bukanlah takaran utama dalam menganalisis mengenai kelayakan lingkungan. Andi menekankan, risiko dari kerusakan ekosistem sebagai dampak dari pembangunan, juga perlu dihitung oleh pihak terkait.
“Di dalam dokumen AMDAL, ada yang disebut sebagai Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Nanti, sesudah kereta gantung dibangun dan terdapat risiko kerusakan ekosistem, kecelakaan, insiden, serta kesehatan masyarakat sekitar akibat bangunan kereta gantung, tentu itu harus menjadi tanggung jawab investor. Nah, masyarakat bisa menjadikan AMDAL sebagai bahan acuan untuk menagih investor,” jelas Andi.
Andi menyatakan, masih belum bisa memberikan jawaban mengenai sikapnya terhadap pembangunan kereta gantung lantaran masih menunggu kepastian informasi. Sebab, sampai sekarang belum ada dokumen sahih yang bisa dijadikan rujukan untuk menentukan sikap.
“Misalnya ada habitat yang terganggu, pihak terkait mesti bertanggung jawab dengan membuat rekayasa lingkungan,” kata Andi.
Menurut Andi, membangun di area hutan lindung tidak selalu dilarang. Berdasarkan fungsi, hutan dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
“Derajat tertinggi itu dipegang oleh hutan konservasi. Kriterianya itu ada pada keunikannya, contohnya adalah Gunung Rinjani. Di hutan konservasi pun terdapat berbagai zona. Misalnya, zona pemanfaatan, zona inti, dan zona rehabilitasi. Yang tidak bisa diganggu gugat dalam hutan konservasi adalah zona inti,” papar Andi.
Terakhir, selama di dalam hutan lindung tidak terdapat blok inti, maka boleh dibangun. Namun, harus tetap memperhatikan aspek kelestarian.
“Kalau instrumen ekologi, ekonomi, dan sosial pembangunan kereta gantung itu tidak bagus, maka saya akan menolak. Tetapi, kalau ketiga faktor itu sudah dibenahi, maka saya sepakat,” pungkas Andi. (GSR)