Mataram (NTB Satu) – Penyintas dan pegiat advokasi isu kekerasan seksual di Indonesia, boleh menarik napas lega setelah menghadapi perjuangan panjang. Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) akhirnya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-undang (UU) pada 12 April 2022 lalu.
UU tersebut disahkan setelah DPR menggelar Rapat Paripurna tingkat II dan dihadiri 311 anggota dewan. Lalu, tepat pukul 11.40 WIB, Ketua DPR RI yang juga pimpinan rapat, Puan Maharani, mengetok palu satu kali, tanda UU tersebut telah disahkan.
UU TPKS merangkum beberapa bentuk perlindungan terhadap penyintas kekerasan seksual. Seperti, pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.
UU TPKS yang telah disahkan ditanggapi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTB, Nuryanti Dewi. Ia mengatakan, disahkannya UU TPKS merupakan hasil dari kerja kolaborasi yang panjang. Yanti menilai, pemerintah, masyarakat sipil, kemudian kelompok Non Government Organization (NGO), adalah pihak-pihak yang turut membantu dan berpartisipasi dalam pengesahan UU TPKS.
“Dengan adanya UU TPKS, masyarakat tak perlu lagi takut untuk melaporkan tindak kekerasan seksual, baik fisik maupun non-fisik. Selain itu, UU PKS bakal menjamin perlindungan dan keadilan dari para penyintas kekerasan seksual,” ungkap Nuryanti, ditemui NTB Satu di Kantor LBH APIK NTB, Rabu, 13 April 2022.
Bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masa kini makin beragam. Bahkan, kekerasan seksual kerap terjadi melalui aktivitas. Kemudian, lantaran bukti digital kerap dianggap tidak cukup kuat di persidangan, penyintas kekerasan seksual kerap bingung untuk melapor.
“Di KUHP pasal 285 hanya diatur soal pencabulan dan pemerkosaan. Lalu, ketika membicarakan kekerasan seksual non-fisik, maka itu terlalu susah untuk dibuktikan. Para hakim pun selalu menuntut alat bukti. Hal menyakitkan lainnya, aparat penegak hukum selalu memberikan stigma negatif terhadap penyintas kekerasan seksual. Syukurnya, Di UU TPKS kini hakim beserta aparat penegak hukum lainnya dituntut untuk tidak memberikan stigma terhadap setiap bentuk pelaporan,” papar Nuryanti.
Penyintas kekerasan seksual tidak perlu lagi menghadapi perasaan was-was dalam melapor. Nuryanti menerangkan, selama penyintas kekerasan seksual memiliki bukti uji materil, maka hal tersebut bisa menjadi landasan proses penyidikan.
“Selain memberikan keadilan terhadap korban, UU TPKS bakal memberikan perlindungan bagi keluarga korban, pendamping, dan juga saksi. Selama ini korban susah melapor karena tidak adanya bentuk perlindungan. Tapi, sekarang sudah ada UU TPKS. Jadi, korban tidak perlu takut melapor. Selain itu, korban tidak perlu lagi sembunyi dari pelaku kekerasan seksual,” jelas Nuryanti.
Dalam proses percepatan pengesahan UU TPKS, Nuryanti menceritakan, LBH APIK NTB turut mendapat mandat untuk mengurusi kampanye yang ditujukan kepada seluruh elemen masyarakat. Untuk diketahui, LBH APIK NTB merupakan kelompok yang berfokus pada terwujudnya sistem hukum adil gender kemudian tercermin dalam relasi kuasa dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
“Jadi kalau ada kegiatan-kegiatan LBH APIK NTB bersama komunitas-komunitas, di akhir acara kami selalu menyiapkan waktu dan menyerukan agar RUU TPKS segera diundangkan. Kampanye tersebut, kami lakukan dari media sosial dan berbagai kegiatan lainnya,” ujar Nuryanti.
Kasus kekerasan seksual di NTB sendiri, menurut Nuryanti sudah sangat tinggi. Walaupun ia belum bisa menyebutkan data secara konkret, banyaknya kekerasan seksual baik fisik dan non-fisik menjadi bukti bahwa kekerasan seksual menjelma sebagai hal yang tidak boleh diabaikan.
“Kami sebenarnya punya data tersendiri soal kasus kekerasan seksual di NTB. Tapi, kami berharap agar NTB punya akses data yang satu pintu supaya masyarakat makin mudah mengakses data tentang kekerasan seksual,” harap Nuryanti.
Sementara itu, pendiri komunitas Senyum Puan, Ade Lativa Fitri mengungkapkan, pengesahan UU TPKS merupakan simbol keberpihakan negara kepada para penyintas kekerasan seksual.
“Setelah UU TPKS ini disahkan, kami sebagai orang-orang lapangan, tidak lagi merasa sendiri dalam mendampingi para penyintas kekerasan seksual. Ketika negara melindungi, kami merasa punya tempat yang aman untuk pulang, tenang, lega, dan tentu saja merasa menang,” jelas Adel, ditemui NTB Satu di sebuah kedai kopi di Kota Mataram, Rabu, 13 April 2022.
Adel, sapaan akrabnya, berpendapat bahwa UU TPKS bakal memudahkan para penyintas kekerasan seksual dalam bersaksi di pengadilan. Menurut cerita Adel, selama ini kesaksian para penyintas kekerasan seksual kerap tidak dipertimbangkan di pengadilan hanya karena tidak bisa menunjukkan bukti konkret.
“Kalau dalam KUHP Pasal 285 itu, kan, membutuhkan dua saksi. Sedangkan, yang namanya kekerasan seksual itu tidak selalu menjadi tontonan orang-orang. Ada kekerasan-kekerasan yang terjadi di ranah privat dan tidak bisa dilihat orang. Lalu, kalau berbicara UU TPKS, keterangan dari penyintas kekerasan seksual bakal menjadi hal penting,” ungkap Adel.
Senyum Puan adalah kelompok yang memfokuskan diri pada tiga hal. Pertama, edukasi masyarakat, kemudian advokasi isu dan pemberdayaan remaja, khususnya perempuan.
Pergerakan Senyum Puan dalam mendampingi penyintas kekerasan seksual, kerap menempuh jalan terjal. Apalagi, bila Senyum Puan menemukan korban yang tidak percaya diri dalam melapor hanya karena terikat relasi kuasa dengan pelaku.
“Sering kali penyintas kekerasan seksual tidak mau jujur mengenai detail kejadian yang dialaminya. Kami menilai penyintas kekerasan seksual malu untuk bercerita lantaran dihantui oleh persepsi masyarakat. Selain itu, yang paling berat adalah ketika aparat penegak hukum malah mempertanyakan hal-hal yang bersifat tidak penting. Bahkan, aparat penegak hukum kerap memojokkan dan menganggap kasus kekerasan seksual sebagai kasus kecil dan tidak berarti,” pungkas Adel.
Terakhir, baik Nuryanti maupun Adel, sama-sama berharap agar implementasi dari UU TPKS dapat dikerjakan dengan maksimal agar pencegahan, penanganan, dan pemulihan penyintas kekerasan seksual berjalan dengan baik.
Begitulah tanggapan dua dari banyak pemeran yang aktif dalam mendampingi para penyintas kekerasan seksual untuk meraih keadilan. Jalan yang terjal tentu bukanlah hal asing bagi mereka. Namun, setiap perjuangan dan penantian dari hal-hal baik, senantiasa bakal membuahkan hal yang juga baik. (GSR)