Pertumbuhan Ekonomi NTB Terpuruk: Triwulan II 0,82 Persen, Terbawah Setelah Papua Tengah

Mataram (NTBSatu) – NTB lagi lagi menempati posisi buncit secara nasional dalam hal pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan II tahun 2025 ini, pertumbuhan hanya 0,82 persen (YoY). Hanya lebih baik dari Papua Tengah yang terperosok hingga -9,83 persen.
Dibandingkan dengan triwulan I Tahun 2025, posisi pertumbuhan ekonomi NTB sebenarnya sedikit membaik, meski tetap saja minus.
Saat itu, kontraksi ekonomi NTB lebih dalam, yakni -1,47 persen (YoY). Pada triwulan II, kontraksi menipis menjadi -0,82 persen, terutama karena sektor non-tambang. Berbanding terbalik dengan industri pengolahan dan pertanian yang mulai menguat.
Perbaikan ekonomi ini masih tertahan karena sektor tambang belum sepenuhnya pulih. Pada triwulan I, anjloknya pertambangan sudah menjadi alarm bagi perekonomian NTB.
Kontras dengan kondisi secara nasional. Ekonomi Indonesia kembali menunjukkan performa positif. Pada kuartal II Tahun 2025, pertumbuhan nasional tercatat 5,12 persen (YoY), lebih tinggi. Jika perbandingannya dengan kuartal sebelumnya, 4,87 persen.
Dari 38 provinsi, 35 berhasil tumbuh positif, dengan tiga daerah bahkan melesat jauh di atas rata-rata nasional.
Ada Maluku Utara 32,09 persen, Sulawesi Tengah 7,95 persen, dan Kepulauan Riau 7,14 persen.
Namun di tengah deretan capaian tersebut, masih ada tiga provinsi yang justru tertinggal di zona kontraksi. Adalah Papua Tengah, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Penyebab Ekonomi NTB Minus

Penyebab utama kontraksi NTB datang dari sektor pertambangan yang masih terjun bebas. Padahal, sektor ini menjadi salah satu penopang utama dalam struktur perhitungan PDRB NTB.
Kontraksi tajam terjadi karena sektor pertambangan turun hingga -29,93 persen. Namun masih ada secercah harapan.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB, Wahyudin, menyebut ketika sektor tambang keluar dari perhitungan, ekonomi NTB justru tumbuh positif.
“Kalau sektor tambang dikeluarkan, ekonomi NTB justru tumbuh positif 6,08 persen. Naik dari kuartal I sebelumnya, 5, 57 persen. Artinya, mesin-mesin baru selain tambang mulai bergerak,” jelasnya pada pertengahan Agustus lalu.
BPS mencatat, sektor industri pengolahan melonjak 66,19 persen, didorong mulai beroperasinya smelter PT Amman Mineral. Meski belum mendapat relaksasi ekspor.
“Hasil tambang yang keluar dari PT Amman langsung diolah oleh smelter, dan itu tercatat sebagai output industri. Jadi wajar kalau industri pengolahan tumbuh sangat tinggi,” jelasnya.
Pertanian Tetap Kokoh
Sementara sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi NTB dengan kontribusi 23,31 persen terhadap PDRB. Pertumbuhan sektor ini mencapai 3,71 persen, sekaligus menopang daya beli masyarakat.
“Pertanian masih menjadi harapan dengan prospek yang sangat bagus. Di sisi lain, pemerintah juga terus mendorong penguatan sektor pertanian dan kelautan,” ujar Asisten III Setda Provinsi NTB, Eva Dewiyani.
Data makro turut memperkuat optimisme ini. Nilai Tukar Petani (124,13) dan Nilai Tukar Nelayan (107,19) per Juni 2025 menunjukan kondisi usaha yang cukup menguntungkan bagi petani dan nelayan.
Ekonomi NTB Mulai Bervariasi
Selain pertanian dan industri pengolahan, sejumlah sektor lain juga mencatat pertumbuhan positif:
Data BPS menunjukkan sektor konstruksi naik 5,57 persen, sejalan dengan meningkatnya pembangunan infrastruktur.
Transportasi tumbuh 4,03 persen, menandakan mobilitas barang dan jasa semakin lancar.
Perdagangan meningkat 2,91 persen, sebagai bukti permintaan domestik tetap terjaga.
Hanya mungkin catatan ada pada sektor administrasi pemerintahan yang mengalami kontraksi -2,04 persen akibat efisiensi anggaran.
Meski NTB masih terjebak di zona minus, tanda-tanda perubahan sudah mulai tampak. Dari smelter yang beroperasi, pertanian yang tetap tangguh, hingga konstruksi dan transportasi yang ikut menguat, NTB sedang membuka jalan menuju ekonomi yang lebih tahan banting.
“Transformasi ini adalah langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada tambang. Kita perlahan bergerak menuju ekonomi yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan bernilai tambah,” tutup Wahyudin. (*)