LPA Mataram Apresiasi Tuntutan 19 Tahun Oknum Pimpinan Ponpes di Pringgarata

Mataram (NTBSatu) – Tuntuntan 19 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lombok Tengah terhadap terdakwa MT, oknum pimpinan Ponpes di Pringgarata mendapat apresiasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram.
“Jadi, saya pikir apa yang dilakukan JPU (Kejari) Lombok Tengah luar biasa. Tidak memandang siapapun. Ini menjadi pelajaran bagi mereka yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual, agar kejadian tidak terulang kembali,” kata Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, Kamis, 3 Juli 2025.
Joko menilai, tuntutan 19 tahun penjara tersebut sepadan dengan apa yang dilakukan MT. Selain “memakan” sejumlah korban, terdakwa juga beberapa kali menghambat proses hukum yang berjalan di Polres Lombok Tengah.
“Sesuai lah yang tuntutan dengan tindakan pelaku. Apalagi kalau kita ingat, saat penyidikan ada intervensi kepada para korban. Belum lagi menganggu kami yang memberikan perlindungan terhadap korban,” beber akademisi Universitas Mataram (Unram) ini.
Joko berharap, langkah Kejari Lombok Tengah ini menjadi contoh baik bagi Aparat Penegak Hukum (APH) lain. Lebih-lebih kasus pelecehan hingga kekerasan seksual masih marak terjadi di NTB.
“Menurut saya, ini bisa memberi efek jera juga kepada para pihak yang merasa berkuasa. Merasa tidak bisa disentuh oleh hukum untuk kasus kekerasan seksual,” tegasnya.
Sebagai informasi, oknum pimpinan Ponpes itu menjadi tersangka setelah menjalani pemeriksaan di Mapolres Lombok Tengah.
Pihak keluarga korban melaporkan MT, karena melakukan pelecehan seksual hingga menyetubuhi sejumlah santriwati yang merupakan anak di bawah umur.
Oknum pimpinan Ponpes di Pringgarata, Lombok Tengah itu melancarkan aksi bejatnya di dalam lingkungan pondok pesantren pada tahun 2023 lalu. Di antara korban, sudah ada yang pelaku setubuhi sejak kelas 3 SMP hingga 1 SMA.
Modus untuk korban pelecehan, MT meminta santriwatinya membersihkan ruangan atau membantu dapur. Saat itu, ia melancarkan aksinya dengan tiba-tiba memeluk dan menyentuh bagian sensitif korban.
“Ada juga pakai proses tipu daya. Korban dirayu, sehingga korban mengikuti keinginan tuan guru tersebut,” ujar Joko. (*)