Lombok Tengah

Warga Desa Lendang Ara Kembali Gelar Ritual Bettulak Setelah Wabah 1970

Lombok Timur (NTBSatu) – Warga Desa Lendang Ara, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah, kembali menggelar ritual adat budaya Bettulak, setelah hampir lima dekade tidak dilaksanakan.

Tradisi ini berlangsung selama lima hari, mulai 31 Mei hingga 4 Juni 2025, sebagai bentuk permohonan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari berbagai macam penyakit.

Ritual Bettulak, yang berarti “kembali”, memiliki makna filosofis sebagai permohonan untuk mengembalikan segala keburukan, termasuk wabah penyakit, ke asalnya.

Tradisi ini terakhir kali dilaksanakan sekitar tahun 1970. Ketika itu warga Lendang Ara dilanda wabah penyakit “bahla korot”, yang menyebabkan tiga kematian dalam satu rumah dalam sehari.

IKLAN

Dalam pelaksanaan tradisi ini, tiga elemen penting masyarakat – tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat – terlebih dahulu bermusyawarah. Setelah mencapai kesepakatan, barulah ritual Bettulak mulai.

Tokoh agama memimpin pembacaan Barzanji, doa, dan selawat di masjid sebagai pembuka ritual. Sementara itu, tokoh masyarakat menyiapkan sajian tradisional gibung dari rumah masing-masing.

Di sisi lain, tokoh adat menyiapkan berbagai piranti adat, seperti penyawek, reke, bokor kuning, dan dupa.

IKLAN

Jalannya Pelaksanaan Ritual Bettulak

Tahapan utama ritual mulai dengan berkumpulnya seluruh warga di masjid. Tokoh agama memimpin pembacaan doa-doa keselamatan, memohon agar masyarakat mendapat perlindungan dari marabahaya.

Setelah itu, tokoh adat memimpin prosesi pemasangan penyawek, yang merupakan simbol penolak bala berbentuk anyaman daun enau muda.

Warga memasang lima penyawek di titik-titik strategis desa, mulai dari pusat desa, lalu ke empat penjuru pintu masuk desa: barat, timur, selatan, dan utara.

IKLAN

Penyawek ini diperciki air siraman dari bokor kuning, yang sebelumnya untuk membasuh pusaka peninggalan Datu Benua, dikenal sebagai penyawek desa.

Pemasangan penyawek dengan pembacaan Selawat Burdah dan pembakaran dupa, sebagai simbol pengharum dan penenang suasana. Seluruh rangkaian ritual menunjukkan harmoni antara nilai spiritual dan kearifan lokal, yang masih masyarakat jaga hingga saat ini.

Setelah seluruh penyawek terpasang, warga kembali ke masjid dan bersama-sama menikmati gibung, sebagai bentuk kebersamaan dan syukur atas kelancaran ritual.

Warga Lendang Ara meyakini, pelaksanaan ritual Bettulak ini menjadi upaya sakral untuk menghindarkan desa dari berbagai macam penyakit. Tradisi ini tidak hanya merekatkan nilai religius dan adat, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial di tengah masyarakat.

Dengan kembalinya pelaksanaan Bettulak pada 2025 ini, masyarakat Lendang Ara berharap keberkahan, keselamatan, dan kesehatan terus menyertai desa mereka seperti yang para leluhur di masa lampau. harapkan. (*)

Muhammad Khairurrizki

Jurnalis Hukum Kriminal

Berita Terkait

Back to top button