Kisah Ani dan Duka Warga Pondok Prasi di Balik Reruntuhan

Mataram (NTBSatu) – Di antara reruntuhan bekas rumahnya, Ani (41), warga Pondok Prasi, masih setia memandangi tanah kosong yang dulu menjadi tempat ia membesarkan keempat anaknya.
Sudah dua kali ia merasakan pahitnya digusur. Kini, ia dan keluarga kecilnya tinggal sementara di bantaran Pantai Ampenan, Kota Mataram. Dekat Pura Segara, hanya beberapa meter dari lokasi rumah lamanya.
“Anak-anak masih kecil. Terlantar, panas kepanasan, hujan kehujanan,” ujarnya kepada NTBSatu dengan nada sedih, Minggu, 1 Juni 2025.
Ani merupakah salah satu dari sekitar 65 kepala keluarga (KK) yang terdampak penggusuran permukiman Pondok Prasi, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram.
Permukiman ini sudah dianggap menyalahi hukum sejak 2020, dan kini kembali ditertibkan oleh Pemerintah Kota Mataram. Menyusul keputusan hukum yang menyatakan lahan tersebut milik pribadi Ratna Sari Dewi, warga Jakarta.
Namun bagi Ani, proses ini masih menyisakan banyak tanya.
“Waktu itu, tahun 2020 tiba-tiba datang aparat dari Polres, langsung menggusur. Katanya tanah ini milik pengusaha dari Jakarta. Tapi selama puluhan tahun kami tinggal di sini, tak pernah sekalipun orangnya datang atau bicara langsung dengan warga,” ujar Ani.
Ia juga menyayangkan tidak adanya pendekatan secara langsung yang menunjukkan itikad baik dari pemilik lahan.
Selama 35 tahun, Ani telah menetap di lokasi itu bersama suaminya yang bekerja sebagai nelayan. Ia bukan warga asli Mataram, melainkan ikut suami dari Lombok Timur dan membangun hidup di Pondok Prasi. Tanah yang menurutnya merupakan milik mertuanya.
Penghasilan suaminya pun tidak menentu. Hanya sekitar Rp30 ribu per hari jika hasil tangkapan laut sedang baik. “Kalau nggak ada ikan, ya pulang tangan kosong,” katanya.
Memilih tetap bertahan
Ani dan ratusan warga Pondok Prasi yang terdampak sempat bertahan sejak penggusuran pertama pada 2020. Mereka tetap tinggal, membangun kembali secara sederhana hingga akhirnya kembali digusur pada Rabu, 28 Mei 2025.
“Kami memilih bertahan di sini bersama warga lain yang senasib. Kami tidak menolak aturan, tapi kami ingin memperjuangkan hak kami,” tegasnya.

Sebagian warga memang memilih untuk direlokasi ke Rusunawa Bintaro yang disediakan pemerintah.
Namun menurut Ani, biaya sewa yang kini sebesar Rp350 ribu per bulan menjadi beban berat bagi warga yang mayoritas berpenghasilan harian.
“Dulu katanya gratis, sekarang bayar. Kami hidup saja susah. Dari mana uang segitu?” keluhnya.
Selain itu, ia juga enggan direlokasi karena akses yang jauh dari pantai. Lokasinya yang dekat dengan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Kebon Talo, sehingga menimbulkan bau tidak sedap yang mengganggu.
“Akses ke pantai jauh sekali, kan mata pencaharian mayoritas nya Nelayan. Belum lagi tempat relokasi dekat dengan TPST Kebon Talo, baunya sangat menyengat dan membuat kami tidak nyaman,” ujar Ani.
“Kami lebih memilih bertahan di sini meskipun serba terbatas,” tegasnya menambahkan.
Tak hanya rumah, masjid kecil tempat warga biasa berkumpul dan beribadah pun ikut rata dengan tanah. Bagi mereka, itu bukan sekadar bangunan, tapi bagian dari kehidupan yang telah terbentuk puluhan tahun.
“Rumah memang bisa dibangun lagi. Tapi tinggal di tempat baru itu tidak semudah kelihatannya,” ucap Ani.
Ia menatap sisa puing rumahnya dari balik tembok setinggi hampir dua meter yang kini menutupi lahan tersebut.
Garis polisi masih tampak melintang di beberapa sudut, membatasi langkah warga yang mencoba mendekat.
Ani tak tahu seberapa lama lagi ia dan keluarganya bisa bertahan di tengah ketidakpastian ini. Ia pun berharap pemerintah bisa memberikan perhatian dan bersimpati terhadap kondisi mereka yang terdampak.
Respon Cepat Pemkot Mataram
Pemerintah Kota Mataram menyebut, penggusuran ini merupakan bagian dari proses penertiban lahan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Pengosongan lahan tersebut pun merujuk pada Keputusan Mahkamah Agung Nomor: 1638.K/Pdt/2010. Dalam keputusan itu menyebutkan bahwa lahan seluas 64 are dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1507 dan SHM Nomor 1508 milik Ratna Sari Dewi.
Camat Ampenan, Muzakkir Walad menyatakan upaya ini berjalan dengan penanganan lanjutan bagi warga yang tidak memiliki tempat tinggal.
“Pak Wali (Mohan Roliskana) terus memberikan arahan agar masyarakat yang terdampak, terutama yang benar-benar tidak punya tempat tinggal, tetap diperhatikan,” ujarnya.
Ia mengatakan, awalnya hanya tercatat sekitar 25 KK yang tinggal di lokasi tersebut. Namun, jelang pelaksanaan eksekusi, jumlahnya meningkat menjadi 50 KK.
“Dinas sosial sudah siapkan tenda sementara di Kebon Talo dan juga siapkan air bersih untuk warga terdampak penggusuran,” ungkap Muzakkir.
Puluhan kepala keluarga asli Pondok Prasi yang terdata akan ditempatkan sementara di tenda-tenda darurat yang disiapkan bersama sejumlah instansi. Seperti BPBD, Dinas Sosial, dan Kepolisian di Kebon Talo.
“Mereka akan menunggu penyelesaian hunian sementara di lokasi Pondok Pelangai,” tukasnya. (*)