Mataram (NTBSatu) – 5 Agustus 2024, tepat 6 tahun lalu Lombok dilanda gempa hebat berkekuatan 7.0 SR.
Lebih dari 500 korban meninggal dunia, ribuan luka, ratusan ribu rumah rusak. Fasilitas publik rusak, hampir setengah penduduk Pulau Lombok tinggal di pengungsian selama sebulan.
Gempa itu menyisakan luka dan trauma, namun banyak pelajaran berharga yang bisa kita ambil.
Karena itulah Program SIAP SIAGA bersama Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) NTB mencatat kembali pengalaman-pengalaman itu.
Program SIAP SIAGA adalah Kemitraan Australia-Indonesia yang bertujuan untuk menguatkan ketangguhan bencana di Indonesia dan Kawasan Indo-Pasifik.
“Karena ingatan kita pendek, mencatat pengalaman gempa dan prosesnya hingga kini ke dalam bentuk buku sebagai pembelajaran bagi generasi mendatang,’’ kata Ketua Forum PRB NTB, Rahmat Sabani.
Kejadian gempa di Lombok, dan Nusa Tenggara Barat bukan tahun 2018 itu saja. Pada tahun-tahun sebelumnya sudah sering terjadi bencana gempa.
Tapi karena tidak ada publikasi khusus, akhirnya banyak rentetan peristiwa itu yang terlupakan.
Generasi berikutnya lupa belajar dari peristiwa masa lalu. Generasi berikutnya tidak tahu apa yang dilakukan generasi sebelumnya ketika terjadi bencana.
Rahmat menyampaikan, dalam proses penanggulangan gempa Lombok 2018 banyak hal baru yang bisa menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang.
Bukan hanya untuk masyarakat Lombok tapi untuk seluruh Tanah Air. Misalnya saja saat masa tanggap darurat, kebiasaan selama ini pemerintah membangun hunian sementara (Huntara).
Tapi di NTB, langsung membangun hunian tetap (Huntap). Mengelola dana triliunan rupiah tentu menjadi masalah baru jika tidak transparan dan tepat sasaran.
“Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTB membangun sistem informasi rehabilitasi rekonstruksi (SIRKON), melalui sistem ini semua bisa memantau secara online dan transparan. Ini bisa mencontoh bagaimana pengelolaan dana kebencanaan yang besar sangat transparan dan partisipatif,’’ katanya.
Rahmat juga ingat pada masa-masa darurat, pemerintahan lumpuh. Penyebabnya banyak pegawai yang tidak berani masuk kerja karena kondisi gedung yang rusak.
Begitu juga sekolah, banyak yang retak. Di tengah situasi masyarakat membutuhkan pelayanan, pemerintah tidak optimal karena pegawai yang khawatir.
Kekhawatiran itu, kata Rahmat, wajar mengingat trauma berada di dalam gedung. Untuk meyakinkan para pegawai pemerintah gedung mereka aman, pemerintah membangun tim penilai kelayakan bangunan.
Tim dari berbagai ahli, bahkan bantuan dari Australia ini secara rinci menilai bangunan. Muncullah kategori merah, kuning, dan hijau.
“Dari luar keliatan ada retak, tapi begitu kami cek ternyata hijau. Nah, para pegawai pun merasa lebih tenang masuk kantor dan pelayanan bisa kembali normal,’’ katanya.
Berkejaran dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, pemerintah bersama semua mitra juga membangun sistem informasi kebencanaan (SIK).
Dalam sistem ini masyarakat bisa mengakses informasi langsung terkait kawasan rawan bencana, jalur evakuasi, dan titik-titik pengungsian.
Sistem ini belajar dari pengalaman masa tanggap darurat yang simpang siur informasi pengungsian.
Kini melalui sistem yang telah terbangun, sudah bisa diperkirakan dampak seandainya terjadi gempa.
“Ini yang kami bilang bahwa dibalik bencana, ada pengalaman berharga yang bisa kita warisakan ke generasi mendatang,’’ katanya.
Pemulihan gempa Lombok termasuk cukup cepat. Tentu saja ini berkat kerja sama semua pihak. Kerja sama itu tidak semata pada masa darurat dan rehabilitasi-rekonstruksi.
Hingga saat ini pun kerja sama itu terbangun dalam berbagai program penguatan kapasitas masyarakat.
Dalam buku berjudul “Berdamai dengan Bencana” ini terangkum berbagi pengalaman kolaborasi itu.
Baik antarpemerintah, pemerintah dengan NGO atau NGO dengan NGO. Pengalaman-pengalaman itu bisa menjadi model adaptasi di tempat lain.
Selain itu pengalaman-pengalaman yang tertuang dalam buku ini, bisa menjadi masukan berharga bagi pengambil kebijakan di kemudian hari.
“Contoh sederhana ada KKN Desa Tangguh Bencana (Destana), ini bisa juga menjadi model KKN dengan mengambil tema lain,’’ kata Rahmat yang juga Wakil Dekan Fakultas Pertanian Unram ini.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, Ahmadi mengapresiasi atas penulisan buku ini.
Dalam buku ini terangkum proses yang pernah dilalui pemerintah daerah NTB bersama mitra dalam penanganan bencana.
Ide peringatan 6 tahun ini juga bisa menjadi pengingat bahwa kejadian bencana di masa-masa mendatang akan terjadi lagi.
“Kita mengingat peristiwa itu agar kita selalu ingat untuk waspada,’’ katanya.
Buku ini bisa menjadi dokumen dan bahan edukasi kebencanaan di NTB. Tentunya buku ini masih perlu untuk penambahan dan penyesuaian dengan sasaran pembaca.
Selain itu penting untuk kembali mencatat dan mendokumentasikan berbagai pengalaman berharga yang ada dalam 6 tahun terakhir.
“Belum pulih dari gempa, kita harus berhadapan pandemi Covid-19, lalu ada juga penyakit mulut dan kuku (PMK),’’ katanya.
Ahmadi mengapresiasi SIAP SIAGA yang telah banyak mendukung program kebencanaan di NTB.
Berbagai program untuk peningkatan kapasitas, penguatan kelembagaan, termasuk juga program di masyarakat sangat berguna dalam peningkatan ketahanan masyarakat menghadapi bencana.