Penanganan Disabilitas dalam Mitigasi Bencana Masih Menjadi Tantangan
Mataram (NTBSatu) – Penanganan disabilitas dalam mitigasi bencana masih menjadi tantangan. Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki menekankan, pentingnya memperkuat mitigasi bencana yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Mengingat jumlah penduduk disabilitas di daerah itu kini telah mencapai lebih dari 10 persen.
Demikian Maliki sampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) memperingati Hari Disabilitas Internasional dan Hari Jadi Unit Layanan Disabilitas (ULD) BPBD Provinsi NTB, di Hotel Lombok Astoria, Rabu, 3 Desember 2025.
Sejumlah tantangan masih menjadi hambatan utama dalam pengembangan Unit Layanan Disabilitas (ULD) Bencana di NTB. Di antaranya adalah keterbatasan data akurat, terutama penyandang disabilitas yang tidak terlihat (non-visible disabilities).
“Informasi yang terbatas membuat intervensi tidak maksimal. Yang terlihat bisa kita bantu, tetapi yang tidak terlihat ini sulit sekali dijangkau,” katanya.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan adalah sistem peringatan dini yang belum ramah disabilitas. “Bahwa peringatan dini sekarang masih belum ramah disabilitas. Mudah-mudahan tidak terjadi di NTB,” ujarnya.
Ia menilai, perencanaan infrastruktur dan program kebencanaan juga harus benar-benar melibatkan penyandang disabilitas dan organisasi mereka, mengingat kebutuhan mereka lebih spesifik. Bahkan, masih ditemukan kondisi di mana orang terdekat belum mampu menggunakan bahasa isyarat, sehingga komunikasi saat evakuasi menjadi terhambat.
“Perencana harus jadi pertimbangan kita, bagaimana infrastruktur baru, program baru harus melibatkan organisasi disabilitas,” tuturnya.
Stigma dan Dukungan Keluarga Masih Lemah
Ia juga menyebut, stigma sosial terhadap penyandang disabilitas masih menjadi persoalan serius. Banyak keluarga yang masih cenderung menyembunyikan anggota keluarga dengan disabilitas, sehingga menghambat proses evakuasi maupun akses bantuan. “Kesulitan evakuasi sangat terkait dengan akses terbatas dan minimnya peralatan. Stigma ini harus segera kita hilangkan,” tegasnya.
Dari sisi kebijakan, regulasi mengenai kebencanaan dan disabilitas sebenarnya telah tersedia dengan cukup lengkap. Undang-Undang dan turunan peraturan pemerintah sudah hampir seluruhnya rampung, kecuali satu aturan tentang konsesi yang saat ini tengah proses finalisasi.
“Aturan tersebut diharapkan dapat membuka akses lebih besar bagi penyandang disabilitas dalam memperoleh peralatan pendukung yang selama ini dinilai mahal,” ungkapnya.
Ia menekankan, program penanggulangan bencana harus responsif pada tiga tahapan: sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana. Pendekatan ini penting agar penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan maksimal di seluruh fase.
Sementara itu, Wakil Gubernur NTB, Indah Dhamayanti Putri mengatakan, NTB merupakan salah satu provinsi yang sebelumnya pernah mengalami bencana yang cukup besar beberapa waktu lalu, yaitu gempa bumi.
Berangkat dari pengalaman itu, Pemprov NTB berkomitmen akan memperkuat regulasi kebencanaan. Terutama sebelum terjadi bencana, saat bencana, dan pascabencana.
“Kita tidak hanya sekadar menyampaikan bahwa masyarakat kita siaga bencana, tapi dari sisi regulasi, BPBD harus lebih mengoptimalkan,” ujarnya.
Ia berharap, keberadaan ULD ini tidak hanya di provinsi saja. Namun, kabupaten dan kota juga. Hal ini memastikan penanganan bencana secara menyeluruh. Tak terkecuali penyandang disabilitas.
“Karena tidak cukup hanya teman-teman provinsi, tapi menyebar di kabupaten kota yang lain. Kita sangat di apresiasi oleh kementerian lembaga karena sudah menjadi provinsi yang salah satunya yang sudah mengawali berdirinya ULD,” ungkapnya. (*)



