
Oleh: Dr. Herwin Mopangga – Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Gorontalo dan Ekonom Kementerian Keuangan Provinsi Gorontalo
Ketika publik mulai meragukan kemampuan pemerintah daerah menghadirkan solusi atas inflasi pangan, mahalnya biaya hidup, dan minimnya lapangan kerja, hadir kabar baik dari pusat: BI Rate turun, dan likuiditas Rp200 triliun digelontorkan ke sistem keuangan. Kebijakan ini bisa menjadi peluang emas untuk menghidupkan ekonomi akar rumput. Tetapi tanpa respons fiskal daerah yang adaptif, uang murah hanya akan berputar di sektor keuangan. Inilah ujian kemandirian daerah: mampu atau tidak menjadikan momentum ini sebagai dasar memperkuat UMKM dan membuka padat karya di desa dan kelurahan.
UMKM sejatinya adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusinya mencapai lebih dari 60 persen terhadap PDB nasional dan menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja. Namun, hanya 20–25 persen UMKM yang memiliki akses ke perbankan formal. Artinya, sebagian besar pelaku UMKM masih kesulitan memperoleh modal murah untuk berkembang. Kondisi ini membuat kebijakan moneter longgar berupa penurunan BI Rate dan tambahan likuiditas Rp200 triliun menjadi peluang berharga, tetapi tanpa jembatan di level daerah, manfaatnya sulit menyentuh ekonomi rakyat.
Dari sisi fiskal, ketergantungan daerah pada transfer pusat masih sangat tinggi. Rata-rata kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Indonesia masih di bawah 15 persen dari total pendapatan daerah. Ini berarti ruang fiskal daerah untuk membiayai program produktif seperti padat karya atau subsidi kredit masih terbatas. Tanpa inovasi fiskal yang berani, daerah hanya akan terus menjadi “penonton” dalam dinamika kebijakan pusat.
Padahal, pengalaman menunjukkan program Padat Karya Tunai (PKT) 2023 mampu menyerap lebih dari 3,5 juta tenaga kerja di desa-desa. Program ini tidak hanya menjaga daya beli masyarakat kecil, tetapi juga memperkuat infrastruktur lokal yang mendukung produksi pertanian, perikanan, dan perdagangan desa. Dengan kombinasi fiskal daerah dan kredit murah dari perbankan, model padat karya bisa diperluas menjadi instrumen transisi menuju ekonomi lokal yang lebih mandiri.
Karena itu, momentum moneter longgar dan dana segar Rp200 triliun harus segera diterjemahkan daerah menjadi langkah nyata. Belanja daerah diarahkan untuk padat karya desa/kelurahan, sementara KUR murah menjadi enabler bagi UMKM. Dengan demikian, uang murah tidak berhenti di bank dan korporasi besar, tetapi benar-benar mengalir ke petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh harian. Inilah strategi konkret untuk menutup jurang ketimpangan sekaligus memperkuat kemandirian fiskal daerah.
Fiskal Daerah: dari Ketergantungan ke Kemandirian
Sebagian besar daerah masih sangat bergantung pada transfer pusat, terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi ini sering membuat APBD hanya berfungsi sebagai instrumen belanja rutin, bukan sebagai motor pembangunan ekonomi. Dengan adanya ruang moneter yang lebih longgar, pemerintah daerah justru dituntut lebih inovatif dalam hal:
- Mengintegrasikan belanja daerah dengan kredit murah perbankan. Program padat karya misalnya, bisa dipadukan dengan kredit modal kerja dari bank yang bunganya kini lebih rendah.
- Mendesain belanja yang bersifat kontra-siklus. Artinya, belanja diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama di sektor padat karya desa dan kelurahan.
- Membangun ekosistem fiskal-UMKM. Dana Rp200 triliun yang mengalir ke perbankan harus difasilitasi pemerintah daerah agar menyasar UMKM, bukan hanya sektor perdagangan besar.
Padat Karya: Instrumen Transisi Fiskal
Padat Karya Tunai (PKT) adalah respons cepat yang bisa segera dilaksanakan di level lokal. Program ini menyerap tenaga kerja desa untuk membangun infrastruktur kecil: jalan tani, cold storage mini, irigasi, dermaga dan tempat pelelangan ikan, hingga fasilitas pasar. Selain menjaga daya beli masyarakat bawah, PKT juga memperkuat basis produksi dan rantai pasok lokal. Dengan bunga kredit lebih rendah, pemerintah daerah bisa mengajak Himbara maupun BPD menyalurkan kredit padat karya—misalnya lewat skema subsidi bunga atau jaminan kredit daerah. Sinergi ini menciptakan “efek ganda”: APBD membiayai sisi infrastruktur, sementara perbankan menopang modal kerja masyarakat.
KUR Murah: Enabler UMKM Lokal
Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi enabler penting bagi UMKM. Dengan turunnya BI Rate, bunga KUR semakin terjangkau. Pemerintah daerah dapat memanfaatkan momentum ini dengan 1) Memfasilitasi pelatihan dan pendampingan UMKM agar bankable, 2) Menyediakan skema penjaminan daerah sehingga bank lebih berani menyalurkan kredit, dan 3) Menghubungkan UMKM dengan rantai pasok nasional dan bahkan ekspor, terutama pada komoditas unggulan lokal seperti jagung, kelapa, perikanan, dan produk olahan. Dengan akses modal yang lebih mudah, UMKM dapat meningkatkan kualitas produk, memperluas pasar, serta menjadi basis pajak daerah yang lebih kuat di masa depan.
Penurunan BI Rate dan injeksi likuiditas Rp200 triliun memang memberi stimulus bagi perekonomian, tetapi keberhasilan kebijakan ini bergantung pada kemampuan daerah merespon secara adaptif. Tanpa sinergi fiskal daerah, uang murah hanya akan berputar di level perbankan dan korporasi besar. Sebaliknya, bila pemerintah daerah berani memanfaatkan momentum ini untuk memperluas padat karya di desa/kelurahan dan mendorong akses KUR murah bagi UMKM, maka manfaatnya akan langsung dirasakan masyarakat bawah. Dari sini, jalan menuju kemandirian fiskal daerah akan semakin terbuka: fiskal yang produktif, moneter yang inklusif, dan ekonomi lokal yang lebih kuat.
Meski kebijakan moneter longgar dan kucuran dana segar membuka peluang besar, tantangan di lapangan tidak bisa diabaikan. Penyaluran KUR berisiko salah sasaran, lebih banyak dinikmati usaha menengah yang mapan daripada usaha mikro kecil bahkan supermikro yang justru paling membutuhkan. Di sisi lain, kapasitas fiskal daerah masih terbatas karena sebagian besar APBD habis untuk belanja rutin birokrasi, bukan investasi produktif. Koordinasi yang lemah antara pemerintah daerah, perbankan, dan lembaga penyalur juga kerap membuat akses kredit tersendat. Tanpa perbaikan tata kelola, momentum kebijakan ini bisa terhenti hanya sebagai wacana tanpa dampak nyata bagi rakyat kecil.
Momentum kebijakan moneter longgar ini ibarat persimpangan jalan bagi daerah. Jika momentum ini terlewat, uang murah hanya akan berputar di bank dan korporasi besar, jauh dari jangkauan petani, nelayan, buruh, dan UMKM yang justru menjadi tulang punggung ekonomi. Namun jika momentum ini ditangkap dengan cerdas, ia bisa berubah menjadi mesin baru kemandirian fiskal daerah—membuka lapangan kerja melalui padat karya, memperkuat permodalan UMKM, dan mendorong peningkatan PAD. Pilihan ada di tangan pemerintah daerah: menjadi penonton yang pasif, atau pemain aktif yang mengarahkan uang murah ke ekonomi rakyat. Sebab sejarah pembangunan daerah tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pusat semata, tetapi oleh sejauh mana pemerintah daerah berani menyalakan mesin ekonominya sendiri. (*)