Mataram (NTBSatu) – Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai 430,36 miliar dolar Amerika Serikat (AS) pada Maret 2025.
Angka ini mencatat kenaikan 0,64 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan melesat 6,36 persen secara tahunan.
Kenaikan ini terutama didorong oleh sektor pemerintah yang mencatat utang sebesar 206,91 miliar dolar AS. Naik 1,08 persen secara bulanan dan 7,63 persen dibandingkan Maret 2024.
Sementara utang sektor swasta mencapai 195,46 miliar dolar AS, hanya naik tipis 0,09 persen, bahkan turun 1,17 persen secara tahunan.
Menakar makna lonjakan ULN di awal pemerintahan Prabowo-Gibran
Menurut BI, kenaikan utang pemerintah ditopang oleh penarikan pinjaman luar negeri dan peningkatan arus masuk modal pada Surat Berharga Negara (SBN) internasional. Hal ini disebut sebagai sinyal positif dari pasar global terhadap stabilitas politik dan prospek ekonomi Indonesia. Khususnya di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Namun, ada catatan penting. 99,9 persen utang pemerintah dan 76,4 persen utang swasta merupakan utang jangka panjang.
Struktur ini dianggap strategis karena memberikan ruang lebih besar untuk pengelolaan fiskal jangka menengah dan panjang, serta menekan risiko pembiayaan jangka pendek.
Meski BI menilai struktur ULN tetap sehat dengan rasio ULN terhadap PDB sebesar 30,6 persen, lonjakan drastis utang luar negeri Bank Sentral. Naik 91,50 persen secara tahunan menjadi 27,99 miliar dolar AS perlu dicermati.
Kenaikan signifikan ini bisa mencerminkan langkah antisipatif otoritas moneter menghadapi tekanan eksternal seperti depresiasi rupiah, inflasi impor, dan ketidakpastian global.
Kendati demikian, dengan kata lain, ULN bukan sekadar soal kebutuhan fiskal, tetapi juga berfungsi sebagai alat stabilisasi ekonomi nasional.
Kenaikan ULN di masa awal pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa Indonesia masih mendapat kepercayaan dari investor global. Namun, ketergantungan terhadap pendanaan eksternal tetap mengandung risiko, terutama jika gejolak global semakin meningkat.
Struktur utang yang didominasi jangka panjang memberi ruang manuver. Tetapi pengelolaan risiko makroekonomi dan kehati-hatian fiskal tetap menjadi tantangan utama bagi pemerintahan baru ini. (*)