Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial Kemasyarakatan
Menghitung waktu, kurang dari 24 Jam, rencana adanya gelombang desakan untuk membuka moratorium Daerah Otonom Baru (DOB) kembali menguat di Pulau Sumbawa, melalui aksi akbar Koalisi Pemuda Pulau Sumbawa (KP4S) pada 15 Mei 2025, dengan opsi blokade Pelabuhan Poto Tano, menyuarakan keresahan kolektif atas stagnasi proses pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS), hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa aspirasi pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) telah mencapai titik krusial. Di tengah kebijakan moratorium Daerah Otonom Baru (DOB) oleh pemerintah pusat sejak 2014, masyarakat Pulau Sumbawa merasa aspirasi mereka terus-menerus diabaikan.
Seruan seperti “Papua Bisa, Kalimantan Utara Bisa, Kenapa Pulau Sumbawa Tidak?” menyiratkan bukan sekadar keinginan administratif, tetapi juga tuntutan keadilan politik dan kesetaraan pembangunan. Namun, perjuangan ini hanya akan berhasil bila dilakukan secara terukur, elegan, dan berbasis hukum, yang penulis sebut dengan cara yang baik dan benar.
Aspirasi ini bukan hal baru, bukan pula ujug-ujug apalagi sembarangan. PPS lahir dari semangat untuk mendekatkan pelayanan publik, mempercepat pemerataan pembangunan, dan menguatkan identitas sosial, budaya Pulau Sumbawa. Namun, di tengah semangat tersebut, perlu diingat bahwa cara menyampaikan aspirasi akan menentukan legitimasi perjuangan itu sendiri.
Kebebasan Berpendapat dalam Koridor Hukum memang benar diakui secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum. Tapi kebebasan ini bukan tanpa batas. Tindakan yang mengganggu fasilitas publik seperti pelabuhan, jalan utama, atau infrastruktur vital lainnya berpotensi menimbulkan konflik sosial dan boleh jari kemudian oleh aparat penegak hukum dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, dan kita tidak menginginkan elemen masyarakat yang menyampaikan aspirasinya di dalam negara yang demokratis ini berhadapan dengan persoalan hukum.
Dalam konteks Pelabuhan Poto Tano, jalur tersebut bukan sekadar urat nadi logistik dan mobilitas warga NTB, tapi juga simbol keterhubungan antarwilayah. Pemblokiran pelabuhan bukan hanya menghambat lalu lintas barang dan orang, tetapi berpotensi memicu konflik horizontal, apalagi jika direspons dengan aksi balasan dari masyarakat Pulau Lombok sebagaimana mulai terlihat dalam beberapa pernyataan terbuka.
Penulis menyadari bahwa gerakan dalam bentuk pemblokiran sesungguhnya untuk mengalihkan yang sorotan Pemerintah agar pandangan nya tertuju pada PPS, namun menjaga keutuhan sosial NTB menjadi suatu keharusan, perjuangan pembentukan PPS seharusnya tidak menciptakan polarisasi antarwarga NTB. Blokade yang menutup akses mobilitas masyarakat dapat menimbulkan antipati dari pihak lain yang sebelumnya netral. Situasi ini hanya akan melemahkan kekuatan moral dan simpati publik terhadap perjuangan PPS sendiri.
Sebagaimana dikatakan Prof. Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN, “Pemekaran wilayah adalah hak demokratis rakyat, tapi harus dilakukan dengan cara yang demokratis pula.” Ini menjadi pengingat bahwa perjuangan yang benar tetap harus dijalankan dengan cara yang baik dan benar.
Para pejuang terbentuknya PPS membutuhkan strategi yang elegan dan efektif, untuk dapat menarik perhatian Pemerintah agar membuka gembok moratorium DOB, paling tidak untuk PPS.
Jika benar-benar menginginkan moratorium dicabut dan PPS disahkan, maka beberapa tawaran strategi yang bisa dibangun adalah:
Pertama, Perkuat dialog dan diplomasi politik, yang dilakukan oleh para Pemuda dan tokoh lokal, untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota se-Pulau Sumbawa agar membentuk forum resmi bersama Gubernur NTB guna menyampaikan aspirasi kolektif ke Kemendagri, termasuk penyampaian policy brief dan rekomendasi ilmiah terbaru soal kesiapan PPS, yang menjadi alasan kuat agar Pemerintah mencabut moratorium DOB.
Kedua, Gerakan bersama para tokoh Pulau Sumbawa di Daerah dan Pusat, ini adalah momen penting bagi para tokoh Pulau Sumbawa, baik yang berdomisili di Bima, Dompu, Sumbawa maupun yang berada di Jakarta, untuk membentuk Koalisi Komunikasi Nasional PPS. Melalui kekuatan jejaring yang ada di legislatif (DPR RI, DPD RI) dan eksekutif pusat bahkan bisa jadi akses langsung ke Presiden Prabowo, para tokoh ini bisa membuka jalur politik yang strategis, mempertemukan aspirasi rakyat dengan otoritas pengambil kebijakan secara langsung dan elegan.
Termasuk di dalamnya adalah tokoh-tokoh politik nasional berdarah Pulau Sumbawa, pejabat birokrasi pusat asal NTB, akademisi, diaspora intelektual, dan pelaku bisnis yang memiliki pengaruh di Jakarta.
Ketiga, Penguatan narasi publik dan Aladvokasi media, daripada aksi blokade, lebih efektif bila dilakukan kampanye publik melalui media, opini akademik, dan narasi kebudayaan. Dokumenter perjuangan PPS, testimoni tokoh adat dan agama, serta publikasi akademik dari kampus-kampus lokal dan nasional bisa memperluas pemahaman publik terhadap urgensi PPS.
Keempat, membangun dukungan politik terbuka dari wakil-wakil rakyat dari Dapil NTB di DPR RI dan DPD RI, hal ini harus dimobilisasi untuk bersuara secara terbuka di forum parlemen. Dukungan mereka akan menjadi tekanan politik yang sah kepada pemerintah pusat, terutama dalam proses pengambilan kebijakan terkait pencabutan moratorium DOB.
Kelima: Aksi simbolik yang bermartabat dan menyatukan, aksi seperti “Doa Bersama Seribu Ulama Sumbawa”, “Deklarasi PPS oleh Bupati dan Ketua DPRD se-Pulau Sumbawa”, atau “Simposium Nasional PPS” jauh lebih kuat daripada tindakan pemblokiran. Strategi ini akan menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Sumbawa tidak hanya siap memisahkan diri secara administratif, tetapi juga matang dalam berdemokrasi.
Penutup: PPS Harus Diperjuangkan dengan Cara Terhormat
Provinsi Pulau Sumbawa adalah mimpi yang masuk akal dan hak yang konstitusional. Namun perjuangannya harus dijalankan secara bermartabat, terorganisir, dan menjauh dari pola-pola anarkis yang justru bisa mencoreng tujuan mulia itu sendiri.
“Tanjung tilah aik meneng empak bau”, kata orang tua sasak, “Bosang berisi ramang no berek” kata tetua Samawa dan “Maja labo dahu, nggahi rawi pahu,” nasihat ruka ta’u Mbojo, yang ketiganya merupakan ungkapan yanh memiliki makna dan mencerminkan prinsip hidup masyarakat Sasak, Samawa, Mbojo (Dompu) yang menjunjung tinggi etika sosial, menjaga keharmonisan, dan menghindari konflik atau kegaduhan melalui sikap malu berbuat salah dan takut pada konsekuensi sosial maupun spiritual.
Maka semua pihak yang terlibat dalam perjuangan menuju terbentuknya PPS, harus menjaga marwah perjuangan ini, sehingga tidak merusak dukungan publik dengan cara-cara ekstrem, karena perjuangan ini jekas tidak sedang menuntut kemustahilan, namun sebagai bentuk dari keinginan agar negara hadir untuk menyetarakan kesempatan, mempercepat pembangunan, dan menjawab harapan rakyat Sumbawa dengan adil.
Semoga terwujud dengan cara yang baik dan benar, “Wallahu a’lam bish-shawab”. (*)