
Mataram (NTBSatu) – Perusahaan raksasa minyak dunia, Chevron berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 15 hingga 20 persen karyawannya.
PHK ini rencananya akan dilakukan secara global akhir 2026 dan berdampak pada 8.000 pekerja dari total 40.212 orang.
Chevron mengambil langkah ini sebagai bagian dari strategi efisiensi perusahaan, yang bertujuan memangkas biaya hingga USD 3 miliar. Melalui optimalisasi teknologi, penjualan aset, serta restrukturisasi bisnis.
Namun, kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar terkait dampaknya terhadap Chevron di Indonesia.
Peran Besar di Indonesia
Chevron telah menjadi bagian dari perekonomian Indonesia selama hampir satu abad. Sejak tahun 1924, perusahaan ini aktif dalam eksplorasi dan produksi minyak dengan sejarah panjang di Riau dan Kalimantan Timur. Hingga 8 Agustus 2021, perusahaan tersebut masih menyumbang sekitar 40 persen produksi minyak mentah Indonesia.
Anak usahanya, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) merupakan salah satu produsen minyak dan gas terbesar di Indonesia. Mereka mengelola ladang minyak raksasa seperti Lapangan Minas dan Duri, serta proyek-proyek strategis lainnya.
Lebih dari 6.400 karyawan langsung dan 30.000 pekerja mitra, keberadaan Chevron di Indonesia memiliki dampak besar terhadap tenaga kerja dan perekonomian daerah operasionalnya.
Ancaman PHK: Apakah Indonesia Terkena Dampaknya?
Meski belum ada pernyataan resmi mengenai dampak PHK global terhadap operasional di Indonesia, banyak pihak mulai mempertanyakan kemungkinan efisiensi tenaga kerja di PT Chevron Pacific Indonesia.
Adanya perampingan global ini, tidak menutup kemungkinan Chevron akan mengurangi investasinya di Indonesia.
Jika iya, maka ribuan pekerja di sektor migas nasional bisa terkena imbasnya. Serta, daerah operasional seperti Riau dan Kalimantan Timur berpotensi mengalami penurunan pendapatan ekonomi.
Mengutip Reuters, Selasa, 4 Maret 2025, Vice Chairman Chevron, Mark Nelson menyatakan, langkah PHK ini adalah bagian dari strategi perusahaan. Terutama, dalam menghadapi tantangan industri migas yang semakin kompetitif.
“Kami mengambil langkah-langkah untuk menyederhanakan struktur organisasi, meningkatkan efisiensi, dan memastikan daya saing jangka panjang. Kami memahami bahwa keputusan ini sulit, dan kami akan mendukung karyawan selama masa transisi,” ujarnya.
Selain itu, Mark Nelson menegaskan, perusahaan terus berupaya menyesuaikan strategi agar tetap kompetitif di tengah tekanan pasar global.
“Kami tidak mengambil keputusan ini dengan mudah. Tetapi ini adalah langkah yang diperlukan agar kami tetap kuat di masa depan,” tambahnya. (*)