
Mataram (NTBSatu) – Kota Mataram baru-baru ini menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2025 sebesar Rp2.859.620, angka tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Mataram, H. Rudi Suryawan menyatakan, pengawasan terkait pemberlakuan UMK ini dilakukan dengan dua pendekatan. Yakni koordinasi dengan pihak manajemen perusahaan dan wawancara langsung para pekerja.
Pihaknya juga berinisiatif untuk mengumpulkan 200 pengusaha besar guna mensosialisasikan UMK 2025 terhambat oleh kendala anggaran. Sehingga pengawasan dilakukan langsung di lapangan.
“Pengawasan ini penting untuk memastikan hak-hak pekerja terpenuhi sesuai ketentuan,” ujarnya, Sabtu, 18 Januari 2025.
Beban UMK: Dilema Penciptaan Lapangan Kerja
Meskipun kebijakan ini disambut baik sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, namun muncul kekhawatiran. Sebab kenaikan UMK ini akan berpotensi pada peningkatan angka pengangguran di Ibu Kota Provinsi NTB ini. Dan saat ini, Mataram menghadapi kenyataan ironis.
Walaupun UMK 2025 naik signifikan, namun data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Kota Mataram justru mengalami peningkatan, dari 4,78 persen pada tahun 2023 menjadi 4,85 persen pada 2024.
Jumlah pengangguran di kota ini kini tercatat lebih dari 11.420 orang.
Fenomena ini menimbulkan keprihatinan, karena banyak yang berharap bahwa peningkatan UMK akan menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi angka pengangguran.
Namun, kenyataannya justru sebaliknya, angka pengangguran malah meningkat.
Sebagian besar pengangguran tersebut merupakan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang kesulitan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kualifikasi yang mereka miliki.
Rudi menyebut, memang kenaikan UMK yang signifikan memang meningkatkan daya beli para pekerja. Tetapi di sisi lain, kebijakan ini dapat membebani perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi di Mataram.
“Beban upah yang meningkat bisa membuat perusahaan enggan merekrut tenaga kerja baru. Di sisi lain, banyak pencari kerja, terutama lulusan SMK, kesulitan memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri,” ungkap Rudi.
Pandangan Ekonom Dr. Firmansyah: Kesenjangan antara UMK dan Lapangan Kerja
Permasalahan tersebut mendapat sorotan pengamat ekonomi, salah satunya datang dari Dr. Firmansyah. Menurutnya, peningkatan UMK perlu sejalan dengan strategi yang lebih luas.
Meskipun kenaikan UMK bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, tapi jika tak seimbang dengan penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan keterampilan, hal itu bisa menyebabkan lebih banyak pengangguran. Terutama di daerah dengan tingkat persaingan tenaga kerja yang tinggi.
“Program pelatihan kerja berbasis kebutuhan pasar dan insentif bagi perusahaan yang merekrut tenaga kerja lokal dapat menjadi solusi untuk mengurangi pengangguran,” ujarnya pada NTBSatu, Minggu, 19 Januari 2025.
Tanpa langkah-langkah tersebut, kebijakan UMK yang tinggi hanya akan menjadi simbol yang tidak berdampak signifikan pada perbaikan kondisi tenaga kerja di Mataram. Pemerintah, kata dia, perlu fokus pada penciptaan lapangan kerja baru.
Pemkot bisa memulainya dengan mempermudah proses bagi usaha pemula untuk berkembang. “Serta memberikan ruang bagi pengusaha yang sudah ada untuk membuka cabang baru atau berinvestasi lebih banyak di Kota Mataram,” pungkasnya. (*)