Mataram (NTBSatu) – Palang Merah Indonesia (PMI) NTB mengadakan refleksi memperingati 20 tahun peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh di Aula Rinjani Gedung Manajemen RSUP NTB pada Kamis, 26 Desember 2024.
Kegiatan ini untuk mengenang tragedi dahsyat yang terjadi pada 26 Desember 2004 tersebut, sekaligus sebagai momentum untuk memperkuat mitigasi bencana di NTB.
Ketua PMI NTB, dr. Herman Mahaputra menegaskan, pentingnya refleksi ini untuk mengingat jasa para relawan dan meningkatkan sinergi antar masyarakat, relawan, serta pengurus PMI.
“Provinsi NTB berada di kawasan ‘ring of fire’, sehingga rentan terhadap berbagai jenis bencana. Peristiwa tsunami Aceh harus menjadi pengingat untuk kita semua memperkuat mitigasi kebencanaan,” ujar Dokter Jack, sapaan akrab dr. Herman.
Dokter Jack mengapresiasi 21 relawan PMI NTB yang berangkat ke Aceh dalam misi kemanusiaan saat tsunami terjadi. Mereka berjuang tanpa kenal lelah untuk mencari dan mengevakuasi korban di tengah kondisi ekstrem. Tsunami berkekuatan 9,1 skala Richter itu menewaskan lebih dari 280 ribu jiwa dan meninggalkan 45 ribu orang hilang.
“Pekerjaan mereka tidak main-main. Bayangkan harus mengumpulkan ribuan jenazah di daerah yang hancur lebur, itu tugas luar biasa. PMI tidak akan berarti apa-apa tanpa relawan,” tegas.
Dokter Jack mengungkapkan bahwa tragedi tsunami Aceh juga menjadi awal penetapan 26 Desember sebagai Hari Relawan PMI. Menurutnya, tanggal ini memiliki makna mendalam bagi PMI, terutama untuk mengenang perjuangan relawan dalam bencana terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.
“26 Desember 2004 bukan hanya tragedi nasional, tapi juga tonggak sejarah bagi relawan PMI. Ini menjadi pengingat bagi kita untuk terus menjaga semangat kemanusiaan,” tambahnya.
Tanggapan alumni Relawan NTB di Aceh
Sementara perwakilan alumni relawan NTB di Aceh, H. Sadri, membagikan pengalaman mendalam saat bertugas di Aceh Jaya dan Lamno, dua wilayah terparah terdampak tsunami. Ia mengungkapkan tantangan berat, termasuk menghadapi jenazah yang berserakan dan ancaman konflik di wilayah yang dikenal sebagai markas Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Kami sering tidak mengakui profesi perawat demi keselamatan, karena khawatir ditangkap GAM. Sehingga tugas kemanusian kita juga mengancam nyawa kami. Inilah tantangan di lapangan selama di Aceh kala itu,” tutur Sadri.
Relawan PMI NTB tidak hanya menangani evakuasi jenazah, tetapi juga membantu anak-anak yang kehilangan keluarga dan memberikan perawatan medis bagi ibu-ibu yang terluka. Sadri juga mengingatkan pentingnya solidaritas dan strategi efektif dalam situasi darurat seperti itu.
Sadri mengaku, setiap harinya relawan PMI NTB yang bertugas selalu mengakut jenazah yang bercecaran di tengah jalan hingga puing-puing bangunan.
Refleksi 20 tahun tsunami Aceh ini diharapkan menjadi pengingat pentingnya kerja sama masyarakat dan organisasi untuk menciptakan ketangguhan dalam menghadapi bencana.
Melalui kegiatan ini, PMI NTB menegaskan bahwa semangat kemanusiaan akan terus hidup, sebagaimana ditunjukkan oleh relawan dalam menghadapi salah satu tragedi terburuk dalam sejarah Indonesia. (*)