By: Pawaiddu Ahlani
Aralea Lavanya, Gadis kelahiran 2003.
Gadis dengan rambut sebahu, bermata sipit dan bertubuh tinggi. Gadis ini sangat suka dengan laut, matahari terbenam dan langit. Sejak masuk di dunia perkulihan gadis ini sering sekali datang ke pantai hanya untuk menikmati matahari terbenam.
Pukul empat lebih lima belas menit Anya baru keluar dari kelasnya dan dia kepikiran untuk kepantai menikmati matahari tenggelam.
“Am I deserving to be happy?” Ucap Anya pada dirinya sendiri.
Sudah 20 menit Anya termenung sendiri di pinggir pantai sembari menikmati matahari terbenam bersama suara ombak yang menenangkan. Tiba-tiba seseorang memanggil Anya dari belakang.
“Anyaaa…” panggil seseorang dari kejauhan.
Anya pun menoleh kearah orang yang memanggilnya. Seseorang itu menghampirinya.
“Sakala…” Anya balas menyapa.
Dia Sakalaka Ocean, teman berbincang Anya akhir-akhir ini.
Sakala dan Anya baru beberapa bulan kenal, mereka saling mengenal dari sahabat Anya, Casky. Sebelum kenal Sakala, Anya sudah lama sendiri, tidak berada di relationship dengan seseorang. Setelah mengenal Sakala, kehidupan Anya sedikit lebih berwarna, karena mereka salalu berkomunikasi, bermain barsama, makan bersama atau sekedar night ride keliling kota berdua dan sering menikmati matahari terbenam di sore hari bersama dipantai dengan status mereka masih temanan tetapi mereka sudah nyaman satu sama lain.
Seperti saat ini mereka sedang menikmati senja bersama tepat dihari ulang tahun Lavanya.
“Nya happy birthday yaa” sembari memberikan Anya sebuket bunga yang masih fresh dan sekotak donat dari JCO.
“Thankyou Al” ucap Anya terharu karna dia tidak menyangka Sakala menyiapkan perayaan untuk ulang tahunnya.
“Sekarang tiup lilinnya ya jangan lupa make a wish” ucap Sakala yang sedang menyalakan lilin ulang tahun tersebut.
Anya pun memejamkan matanya dan berdoa sebelum meniup lilin itu. Setelah itu mereka poto bersama kemudian bermain di pantai.
“Nya stay with me ya” ucap sakala samar tetapi tidak terlalu terdengar oleh Anya.
Matahari pun mulai menghilang dan langis sudah gelap. Anya dan Sakala pun beranjak untuk pulang.
*
Jarum jam di kamar Anya hampir menunjukkan pukul sebelas, namun tak membuatnya ragu untuk melangkah keluar rumah menemui seseorang yang membutuhkan pelukannya.
Anya mengabaikan pakaian rumahnya begitu membaca pesan dari Sakala. Entah apa yang terjadi dengan lelaki itu, Anya seakan bisa merasakan kepedihan dalam pesan teks di layar ponselnya. Gadis itu dengan cepat menyambar sandalnya lalu membuka pagar rumahnya.
“What hap–,”
“Let me take my hug first.”
Pelukan hangat segera menyelimuti tubuh Sakala sebelum ia berhasil menyelesaikan kalimat di bibirnya. Seluruh sendinya seakan turut melepas semua rasa beban yang menggelantunginya. Anya sadari pelukan ini bukan hanya dibutuhkan Sakala, tetapi juga dibutuhkan dirinya sendiri.
Laki-laki dengan hoodie putih itu menjadikan pundak sempit Anya sebagai tumpuan kepalanya. Ia masih menutup rapat bibirnya. Anya rasa lelaki itu pun memejamkan matanya, berusaha menenangkan napasnya yang sebelumnya terasa memburu di ceruk leher Anya.
Anya memberanikan diri untuk mengusap punggung lebar Sakala dengan lembut, memberikan tepukan-tepukan yang menghantarkan rasa aman bagi si lelaki tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia berikan lelaki hebat ini waktu sebanyak-banyaknya untuk menenangkan diri.
Di balik punggung sempit Anya, Sakala benar-benar memejamkan matanya. Seluruh emosi di dadanya yang sedari tadi ia pendam mulai meluruh runtuh. Tepukan-tepukan yang Anya berikan menyita seluruh atensi miliknya, hingga tanpa sadar setitik bulir air mata jatuh dari kelopak matanya yang masih tertutup.
“Sorry.” Entah ke mana konteks maaf yang Sakala bisikkan di telinga Anya, tapi Anya buru-buru menggelengkan kepalanya.
“Jangan minta maaf. Take your time, I’m here. Don’t worry, I’m with you.”
Sebuah senyum akhirnya terbir di wajah Sakala malam ini. Tangannya kini bergerak untuk melakukan hal yang sama seperti yang Anya lakukan padanya menepuk-nepuk berusaha memberi ketenangan.
“Ini belum mau dilepas?” tanya Anya ketika ia rasa Sakala sudah lebih tenang.
Tubuh Sakala mundur untuk memberi jarak antara dirinya dan Anya.
Tak ingin kebersamaan keduanya berlalu begitu saja, Anya menarik lengan Sakala untuk duduk di bangku semen yang ada di samping pagar rumahnya. Sakala menurutinya dengan mengambil telapak tangan Anya ke dalam sebuah genggaman.
Begitu keduanya sudah duduk berdampingan, Anya membuang napasnya yang sempat tertahan. Ia pikir Sakala akan segera melapaskan genggaman tangan keduanya, namun ternyata ia keliru. Sakala duduk dengan tenang di sisinya dengan tangan kiri yang masih menggenggam hangat tangan kanannya.
Jujur, Anya tak mahir menyembunyikan rasa gugupnya. Gerakan tubuhnya sulit untuk diajak bersandiwara.
Dan Anya dengan seribu jurus kepekaan yang ia miliki menyadari hal itu.
“Sorry. Is it feels uncomfortable?” Lelaki itu bertanya dengan suara rendah dan tatapannya melirik tautan tangan keduanya.
Anya dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Bukan, bukan nggak nyaman….”
“Terus? Gugup?”
“Hm.” Anya mengaku.
Dua insan pemilik hati bersih sepaket dengan bekas luka yang hampir sama itu duduk bersisian memandang langit malam yang membentang indah dengan para bintang.
Sakala maupun Anya memberikan atensi penuh mereka pada bintang-bintang di sana. Keduanya terdiam menikmati angin yang beberapa kali berhembus senang menyapa kulit mereka.
Lima menit berlalu, Anya menolehkan kepalanya untuk melihat wajah Sakala dari samping. Lelaki itu mengadahkan kepalanya dengan mata yang tertutup. Raut wajahnya mengisyaratkan bahwa ia sedang menghirup udara bebas di sini untuk menyembuhkan lukanya. Beberapa kali helaan napas berat juga keluar dari celah bibirnya.
Anya tak bisa memalingkan pandangannya dari visual indah yang Sakala berikan. Hatinya diam-diam merapalkan syukur pada Tuhan karena lelaki ini masih bertahan hidup di dunia meskipun tekanan dari orang-orang sekitarnya berikan pastilah bukan hal yang mudah untuk dihadapi.
Lalu Anya mengunci tatapannya ketika ia mendapati sisa bulir air mata di sudut mata Sakala.
Lelaki ini benar-benar menangis di pundak Anya.
Dan mengetahui fakta itu membuat hati Anya turut merasakan sakitnya.
Tangan kecilnya terulur untuk menghapus jejak air mata di sana.
Gerakan Anya sontak membuat Sakala membuka matanya. Ia tatap gadis di sampingnya tepat dia kedua netranya untuk menyalirkan semua perasaan yang membuncah di hatinya. Tubuhnya diam membatu saat Anya memindahkan tangannya untuk mengusap pucuk kepala Sakala dengan lembut.
Gadis itu tersenyum di bawah naungan langit malam. “It’s okay to cry, you’re a human, Al. All of your feelings is valid. Everything gonna be okay.”
Dalam dua puluh tiga tahun Sakala bernapas di dunia, tak pernah ia mendapatkan perlakuan semanis dan senyaman ini.
Tubuhnya berpindah posisi untuk menghadap Anya dan mulai menceritakan semuanya dengan tangan yang kembali mengenggam tangan milik Anya. Sakala singkirkan seluruh pagar yang ia buat untuk membatasi campur tangan orang lain dalam dirinya. Malam ini ia biarkan Anya masuk ke dalam sana untuk mempengaruhinya. Sepenuhnya ia menyerahkan hatinya untuk Anya.
Tak banyak komentar yang Anya berikan ketika Sakala bercerita panjang. Gadis itu mengerti bahwa Sakala hanya membutuhkan pendengar saat ini. Maka yang ia lakukan adalah membuka telinganya dengan lebar, memberikan seluruh atensinya pada lelaki itu, memberikan usapan kecil di telapak tangannya ketika cerita yang diutarakan terasa berat.
“Pihak Royal Caribbean email kalo aku dapat cancelation untuk keberangkatan ke kapal pesial Nya. Aku rapuh Nya, aku ngga tahu sekarang arah aku akan kemana, aku belum bilang ke orangtua aku Nya, aku takut mereka kecewa. Aku bingung masa depan aku bagaimana Nya, How about my future Nya?”
Anya sedikit kaget dengan cerita lelaki itu. Anya menggenggam tangan Sakala untuk menguatkannya.
“Al it’s okay mungkin ada rencana tuhan yang lebih baik dari itu, kamu kan udah usahain yang terbaik Al, jalan masih panjang Al, I believe you kamu bisa kok jadi orang sukses dimasa depan Al, don’t worry about ur future, believe urself u can becomes the person u wants. I’ll be here to support and reassure you in every way Al”
Lelaki itu menganggukkan kepalanya. “You’re right, Thank you so much Nya”
“No worries.”
“How about your family? Wanna talk about it too?” ucap Sakala
Anya terdiam beberapa saat untuk menimbang-nimbang apakah ia perlu bercerita tentang keluarganya saat ini? Apakah Sakala perlu mengetahui itu semua?
“Just don’t if you feel uncomfortable.” Sakala mengerti arti raut ragu di wajah Anya.
“Bukan nggak nyaman. Tapi, gue ragu … Hm, gini. Is it okay to you? I mean, is it important to you to know about me? Apa kontribusinya kalau lo tau tentang keluarga gue? Nanti kalau lo malah jauhin gue gimana?”
Mendengar pertanyaan yang datang beruntun itu sempat membuat Sakala menukikkan alisnya karena terkejut. Tapi kemudian ia menahan senyumnya. Anya is still Anyaa. Her habit of thinking too much won’t be easy to remove.
“I need to know because I’ll take care of all of your life. It’s important to know who gave birth to a great girl like you in this world.”
“Idih gayanya udah kayak pacar,” tukas Anya tiba-tiba.
“Lah, emang kita belum pacaran?”
“Hah?”
Anya tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya begitu mendengar pertanyaan spontan yang Sakala berikan. Lelaki di sebelahnya juga membelalakkan matanya tak percaya.
“I thought since kita pergi sunset pas dihari ulang tahun kamu itu, we’re dating. I asked you for stay with me too.”
“Hah….”
Kali ini Sakala tertawa. “Jangan hah hah mulu dong. Kamu nggak sadar kamu lucu?”
“Sinting.”
“Hahahahahahah. Hei!” Sakala berseru begitu Anya dengan cepat bangkit dari duduknya karena salah tingkah dengan pembahasan mereka yang tiba-tiba berubah tema.
Lengan Anya sedikit ditarik Sakala untuk kembali duduk di sisinya. “Jadi, mau cerita nggak?”
Tak bisa ditahan lagi, Anya menutup wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya. Senyumnya tak kunjung luntur sampai Anya rasa otot pipinya mulai pegal karena terlalu lama seperti itu.
“Wait. Let me handle myself first.”
“Hahahah, cutie.”
“Stop, Al, or we’ll be stuck here all night.”
“Okay okay, I’m sorry. Go on.”
Cerita Anya diawali dengan kehidupannya yang menjadi anak brokenhome. Ayah dan ibunya cerai sejak dia duduk dibangku Sekolah Dasar kelas 2. Dari sana dia tinggal dengan neneknya. Tidak lama bercerai ibu anya menikah lagi dengan orang lain dan punya kehidupan baru dengan keluarga yang harmonis, anya punya 2 adik tiri dari ibunya, sedangkan ayahnya pergi keluar negeri untuk bekerja, jadi sejak kecil Anya tidak pernah mendapat peran orang tua dihidupnya sampai dia beranjak dewasa seperti sekarang.
Anya tidak dekat dengan ibunya, sometimes ibunya sering pulang kerumah neneknya kalo ada acara atau hari raya tapi ketika bertemu dengan ibunya dia merasa asing dengan sang ibu. Anya dan ayahnya terakhir bertemu ketika dia masih berumur 12 tahun, artinya selama 8 tahun ini Anya tidak pernah bertemu dengan sang ayah, akan tetapi anya bisa dikatakan dekat dengan ayahnya karena sering berbincang melalui WhatsApp, ayahnya juga yang selalu membiayai kehidupannya sampai anya kuliah saat ini. Anya merasa tidak adil dengan keadaan keluarganya, dia sering merasa iri melihat keluarga orang lain harmonis, andai orangtuanya tidak pisah pasti anya akan tetap akan meraskan ap aitu kasih sayang.
Entah bagaimana Anya akhirnya merasa lepas untuk memberi tahu Sakala tentang kehidupannya, ia tersadar bahwa Sakala bukan lagi orang asing di hidupnya.
“Wanna hug?” tanya Sakala begitu Anya menyelesaikan ceritanya. Anya mengangguk dan membiarkan Sakala memeluk erat tubuhnya.
Anya tak tahu kalau pelukan manusia bisa memiliki rasa seperti rumah. Nyaman, aman, dan damai.
“You did a great job too, Lavanya. You’re a strong and cool woman. I should thank God for letting you survive. And thank you for not giving up. Everything gonna be okay from now.”
“Hm. Thanks to me.”
Sakala tersenyum mendengar kalimat sederhana yang Anya katakan. Gadis ini memang sudah seharusnya mengapresiasi seluruh keras yang ia lakukan. Sakala mengusap lembut rambut Anya yang dibiarkan terurai. Ia tumpahkan rasa sayangnya di sana untuk Anya.
Sakala dan Anya dipertemukan oleh Tuhan untuk saling menyembuhkan dan mengisi rasa kosong di hati masing-masing. Maka tak ada alasan yang dapat mereka jadikan senjata untuk mendorong satu sama lain.
Hari semakin larut dan Anya harus segera masuk ke dalam rumah, begitu juga Sakala yang harus segera pulang. Tautan tangan keduanya tidak terlepas sampai Anya melangkahkan kaki melewati pagar.
“Udah, sana pulang. Hati-hati,” ujar Anya sembari melepaskan genggaman Sakala dari tangannya. Namun si lelaki justru menyatukan kembali jari jemari mereka.
“So, Ms. Lavanya, after long stories that we had before, do you wanna be mine?”
Kedua pemuda itu bertatapan dengan bibir yang saling menahan senyum, tak sabar untuk menguar lebih lebar.
“Do I have a reason to refuse?” tanya Anya dengan salah satu alisnya yang terangkat.
“I’ll steal you from your home if you have.” “Gladly, I don’t have any reasons. So, yes, Mr. Sakalaka.”
Hello Readers! My Name is Pawaiddu Ahlani (E1D021034). I am from the English Education Department in University of Mataram. I’m taking Creative Literary Writing course therefore I am presenting my short story “ A home”