Oleh: Sirra Prayuna (Advokat)
Bahwa putusan perkara nomer 02/ MKMK/L/2023, dengan terlapor Ketua MK Hakim Anwar Usman, menarik untuk kita cermati;
Pertama; Soal putusan perkara 90/PUU-XXI/2023, Majelis kehormatan MKMK menolak permintaan pelapor untuk pembatalan, mengkoreksi atau meninjau kembali putusan nomer 90 tersebut karena MKMK berpendirian, bukan merupakan majelis kehormatan dengan superioritas legal dengan MK yang dapat mengakibatkan hilangnya kemerdekaan yg melekat kepada MK dan menabrak sifat final dan mengikat.
Dengan demikian, sudah tidak ada ruang lagi bagi publik untuk mempersoalkan secara hukum putusan.perkara nomer 90 /PUU-XXI/2023 kecuali degan mekanisme menguji kembali di MK dan diketahui saat ini pengujian perkara tersebut sedang berjalan.
Kedua; Putusan Perkara no 90/PUU-XXI/2023 yg kontroversi tersebut meskipun tidak dapat dibatalkan akan tetapi merupakan produk hukum yg cacat. Jika mencermati kesimpulan MKMK. Majelis kehormatan menilai, telah terbukti MK dengan sengaja membiarkan di intervensi dari pihak luar.
Publik sudah dapat mengira pihak luar dimaksud yakni pihak Istana. Gambarannya sangat jelas, Ketua MK adalah kerabat sang presiden yang juga Paman sdr. Gibran.
Mari kita konstruksi dari sisi kepentingan pemohon perkara nomer 90/PUU-XXI/2023 dengan nalar sehat. Dimulai dari pertanyaan, apakah mungkin pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023 akan memiliki kesanggupan mengintervensi hakim MK?.
Apa kepentingan pemohon secara konstitusionalitas mendesak?
Pemohon, seorang mahasiswa, menurut logika apakah dapat melakukan tindakan diluar kepantasan dan dapat dikatagorikan melanggar hukum dengan mendekati hakim MK dan MK sengaja membuka ruang untuk di intervensi oleh pemohon?
Jika kita periksa dalil permohonan pemohon perkara nomer 90 yakni bercita-cita ingin jadi presiden dan juga fans berat walikota solo, Gibran. Alasannya sederhana, kota solo dinilai maju di bawah kepemimpinan Gibran, tidak diberi kesempatan dalam kontestasi karena terganjal batas usia maka hak konstitusionalitasnya menjadi hilang dan terhalangi akibat pemberlakuan pasal 169 poin q UU pemilu tersebut.
Mari kita berlogika akal sehat, untuk menjawab pertanyaan diatas, mulai apakah mungkin pemohon mampu menjangkau hakim hakim MK. Saya yakin, dan seyakin yakinnya pasti TIDAK MUNGKIN dan TIDAK MAMPU. Apa kepentingan pemohon secara langsung dan mendesak sampai melangkah jauh melakukan pendekatan kepada hakim MK. Terasa aneh dan janggal, seorang mahasiswa punya kemampuan brilian untuk lobi hakim hakim MK. Justru saya meragukannya, jangan jangan adik mahasiswa kita untuk tahu menuju gedung MK saja perlu dipandu. Untuk memahami ruangan gedung MK, memerlukan waktu panjang untuk bolak balik MK, mengenal para pegawai mulai dari scurity sampai pegawai umum, panitera, eselon 2 dan eselon 1, bukan sesuatu yang mudah untuk berinteraksi dengan mereka, apalagi sampai tembus kepada hakim MK. ini lebih mustahil lagi.
Saya sebagai advokat telah bersidang di MK sejak awal MK didirikan, pada awal pendiriannya ketua MKMK yaitu prof Jimly yang menjadi ketua MK dan sampai saat sudah berapa kali pergantian ketua MK RI, saya tak pernah absen beracara di MK.
Tak mungkin kami kiranya pihak berperkara dapat menjangkau yang mulia hakim MK karena hakim MK sangat steril dan sangat berwibawa. Aneh bukan, barang tak masuk akal jika adik mahasiswa bisa begitu mudah mengintervensi hakim MK.
Kenapa ini penting kami utarakan guna memperjelas dugaan bahwa pihak luar tersebut yaitu istana cawe cawe di MK. Tergambar dalam putusan yg telah dibacakan majelis MKMK.
Jadi kita sudah dapat menarik kesimpulan, hanya Presiden yang dapat menaklukan kekuasaan MK dan gayung bersambut MK telah sengaja membuka diri untuk di intervensi kekuasaan lain sehingga Sapta Karsa Utama menjadi luluh lantah dan prinsip lembaga peradilan universal yakni kemerdekaan, mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainya menjadi hilang.
Saya kira rakyat sudah cerdas dan tak bisa dibodohi. Jauh hari suatu sebuah rencana besar telah diskenariokan secara terencana dan sistematis untuk meloloskan sang putra Mahkota bisa berkonsentrasi pada pemilu 2024.
Pemimpin Indonesia ini memerlukan pemimpin yg bersih, jujur, berintegritas dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dengan cara yang benar tidak melanggar hukum atau lahir dari proses yang cacat hukum. Keyakinan rakyat terhadap pemimpinnya mau dibawa kemana kapal besar Indonesia ini tentunya di dasari oleh sebuah legitimasi yang kuat dan moral obligation kokoh. (*)