Mataram (NTBSatu) – Kementerian Keuangan mendorong DPR untuk mengkaji ulang porsi anggaran wajib pendidikan. Porsi anggaran untuk pendidikan mencapai 20 persen dari APBN.
Merespons hal tersebut, Kepala Dinas Dikbud NTB, Aidy Furqan mengatakan, pihaknya belum mendapatkan informasi detail soal usulan Kementerian Keuangan. Menurutnya, kebijakan dari pusat itu tentu telah memiliki dasar dan hasil evaluasi yang berlangsung sejak lama.
“Sehingga, memunculkan opsi seperti itu (red, pengkajian besaran anggaran pendidikan),” ungkap Aidy kepada NTBSatu, Senin, 9 September 2024.
Lebih lanjut, Aidy menyebutkan, bahwa kebijakan tata kelola pendidikan di daerah akan menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat. Maka, pihaknya tentu akan menyesuaikan dengan anggaran yang akan pemerintah pusat siapkan.
“Kami akan tunggu saja finalnya seperti apa,” terang Aidy.
Menyinggung mengenai kesiapan pemerintah daerah apabila porsi anggaran pendidikan terpotong, Aidy menjawab akan menyesuaikan program dengan anggaran yang tersedia.
“Lebih tepatnya, penyesuaian anggaran dengan program,” tandas Aidy.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mendorong DPR untuk mengkaji ulang porsi anggaran wajib atau mandatory spending untuk pendidikan. Anggaran itu mencapai 20 persen dari APBN.
Ia menyarankan, mandatory spending sebesar 20 persen diambil dari pendapatan negara, bukan belanja negara. Sri Mulyani menyatakan, Kementerian Keuangan telah membahas secara internal hal ini.
Sri Mulyani mengatakan, basis belanja wajib untuk anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu selama ini rancu karena tidak memperhitungkan kondisi riil belanja negara. Akibatnya, ketika kebutuhan belanja negara tengah tinggi yang akibat pelemahan kurs atau kenaikan harga minyak, mandatory spending itu harus terserap untuk kebutuhan belanja dalam rangka menopang belanja subsidi.
Ia mencontohkan, kasus yang terjadi pada tahun 2022. Pada tahun itu, penerimaan negara melonjak karena adanya kenaikan harga minyak mentah dunia dan ambruknya kurs rupiah.
Implikasinya, beban subsidi yang ikut meroket dari rencana semula Rp 350 triliun, membengkak menjadi Rp 550 triliun. Kenaikan itu harus terkompensasi dari belanja pendidikan yang sebesar 20 persen. (*)