Sumbawa

Kini PLTU Sumbawa Produksi Setrum dengan Limbah Jagung Petani

Mataram (NTB Satu) – PLN terus menggesa transisi energi dari fosil ke biomassa. Hal ini sejalan dengan semangat pemerintah mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23 persen tahun 2025, dan net zero emission tahun 2060.

PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Provinsi NTB dan Pemprov NTB bahkan berjalan beriringan menjalankan transisi energi dengan mendorong peralihan energi fosil ke energi ramah lingkungan.

Di NTB, transisi energi ini sudah dilakukan oleh PLN pada dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yaitu PLTU Jeranjang di Lombok Barat, dan PLTU Sumbawa di Sumbawa Barat. Transisi ini juga dilakukan  di tengah  rencana pemerintah secara bertahap menyuntik mati pembangkit-pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil (salah satunya batu bara). Agar investasi besar PLN tidak sia-sia, PLN NTB memilih melakukan co-firing PLTU.

Co-firing merupakan teknik substitusi dalam pembakaran PLTU, dimana sebagian batu bara yang dijadikan bahan bakar diganti sebagian, atau penuh dengan bahan lainnya dengan biomassa. PLTU Sumbawa bahkan sudah sukses mengujicoba co-firing menggunakan bahan bakar tongkol jagung seratus persen.

Manager PLN UPK Tambora, Wayan Budi Laksana menuturkan, PLTU Sumbawa adalah salah satu PLTU dalam sistem kelistrikan di NTB yang menerapkan co-firing.  PLTU berkapasitas 2×7 Megawatt (MW) di Desa Kertasari, Kecamatan Taliwang ini memanfaatkan limbah domestik (tongkol jagung) yang telah diolah sedemikian rupa untuk dijadikan bahan bakar alternatif guna peningkatan kualitas produksi listrik dan rantai pasok energi primer pada PLTU.

“PLN saat ini berfokus dalam transisi energi melalui peningkatan bauran energi baru terbarukan. Dalam tahapannya, PLN juga menerapkan green booster yang di dalamnya meliputi implementasi co-firing pada PLTU. Di sisi lain, Sumbawa dikenal sebagai penghasil jagung yang melimpah untuk komoditas pertaniannya,” ujar Wayan.

Pilihan menggunakan bahan bakar tongkol jagung, sangat beralasan. Sebab Provinsi NTB adalah sumber produksi jagung nasional. Data Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTB, produksi jagung pada tahun 2022 sebesar 2.331.758 ton pipilan kering. Tentu limbah jagungnya sangat melimpah untuk dimanfaatkan.

Proses co-firing menggunakan biomassa tongkol jagung dilakukan secara kontinyu sejak bulan Mei 2022 sampai dengan saat ini, dengan persentase campuran biomassa yang terus meningkat. Dengan melakukan co-firing menggunakan tongkol jagung, PLTU Sumbawa Barat dapat memproduksi energi listrik sebesar 300 MWh yang disalurkan ke pelanggan di Pulau Sumbawa.

Proses co-firing  yang dijalankan yaitu, substitusi sebagian batubara atau campuran batu bara di PLTU dengan presentase penggunaannya dilakukan bertahap sebesar 3% di awal-awal percobaan. Kemudian ditingkatkan sebesar 5%, 25%, hingga 50% dari kebutuhan bahan bakar pembangkit. Bahkan ujicoba dilakukan dengan bahan baku 100% tongkol jagung juga sukses.

Yang menggembirakan, penggunaan biomassa ini terbukti mampu menghemat biaya. Penyediaan pasokan biomassa untuk co-firing juga didukung penuh oleh seluruh stakeholders hingga co-firing dapat terus berjalan. Selama ini, tongkol jagung hanya dijadikan limbah dan dibakar oleh petani. Sepanjang Bulan Mei-Agustus 2022.

PLTU Sumbawa telah menggunakan 1.196,85 ton (5%) biomassa dan berhasil menekan biaya hingga Rp316 juta. Dari kebutuhan bahan bakar batu bara sebanyak 300 ton perhari, didalamnya tetap berjalan penggunaan bahan bakar campuran, tongkol jagung sekitar 5-10 persen.

“Kedepannya, kami akan terus meningkatkan biomassa dalam proses co-firing. Tidak hanya menggunakan tongkol jagung, PLTU Sumbawa juga akan menggunakan potensi biomassa yang lain seperti woodchip pohon kaliandra, pohon gamal, dan pohon lamtoro.” pungkas Wayan.

PLTU Sumbawa pada saatnya sudah sangat siap, jika tuntutannya co-firing 100 persen menggunakan biomassa. Saat ini tengah dirancang untuk menjadikan tongkol jagung menjadi bahan bakar dalam bentuk padat (briket). Agar kebutuhan bahan bakar batubara sebanyak 300 ton perhari dapat 100 persen diganti ke biomassa.

General Manager PLN Unit Induk Wilayah NTB, Sudjarwo mengatakan, co-firing PLTU adalah pilihan agar PLTU tidak dimatikan begitu saja. Apalagi sudah dibangun dengan investasi yang tidak kecil.

Selain PLTU Sumbawa, PLTU Jeranjang di Lombok Barat juga sudah co-firing menggunakan sampah yang sudah diproduksi kembali dan dipadatkan menjadi pelet sebagai bahan bakar pembangkit. PLN NTB tengah berproses untuk mendorong keterlibatan masyarakat menjadi suplayer kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik yang ramah lingkungan ini.

“Kita bekerjasama dengan Pemprov NTB untuk mengembangkan energi baru terbarukan. Salah satunya dengan menyediakan hutan energi yang nantinya akan menjadi sumber bahan bakar PLTU Sumbawa, maupun PLTU Jeranjang,” ujarnya.

Peluang untuk menyediakan bahan bakar alternatif (kayu) ini terbuka juga untuk masyarakat umum untuk menyediakan lamtoro, kaliandra, atau gamal. Untuk memasok ke pembangkit, PLN melakukan kerjasama dengan dengan CV, atau PT (pengepul).

Jika dihitung nilai ekonomisnya, 1 Kg kayu nilainya Rp650 di tingkat pembangkit. Kayunya sudah harus dalam bentuk potongan kecil-kecil. Bukan dalam bentu gelondongan.

Dalam jangka panjang, keberadaan PLTU-PLTU di NTB ini, lanjut Sudjarwo, tentu co-firing pembangkit listrik akan menghadirkan efek ikutan ekonomi lainnya. Dari penyediaan bahan baku, pengolahan kayunya, hingga transportasi pengangkutannya ke pembangkit PLTU.
Akan banyak rantai ekonomi yang ditimbulkan. Kelebihan lain utama lainnya, pembangkit listrik menjadi ramah lingkungan. Jika penyediaan hutan energinya massif, otomatis kelestarian alam terjaga, keseimbangan alam akan terjadi.

Sekretaris Dinas ESDM Provinsi NTB, Niken Arumdati mengemukakan, Pemprov NTB sedang merancang peta jalan energi baru terbarukan. NTB punya target untuk mencapai net zero emissions di tahun 2050. Sebagai salah satu sektor penyumbang emisi terbesar, sektor ketenagalistrikan akan meningkatkan kontribusi EBT (Energi Baru Terbarukan). Co-firing PLTU menjadi pilihan untuk solusi jangka pendek, sambil terus menggenjot pembangunan pembangkit listrik EBT lainnya seperti PLTS, PLT Bayu, PLT Air, Biogas dan lainnya.

Wakil Gubernur NTB, Dr. Hj. Rohmi Djalillah sendiri menegaskan ambisi pemerintah daerah mewujudkan NTB net zero emision 2050 melalui aktifitas energi terbarukan seperti penggunaan kendaraan listrik, mengurangi volume sampah, dan penghijauan.

“NTB berani mendiklair bahwa kita bebas emisi gas kaca pada 2050, walaupun secara nasional Presiden menyampaikan target 2060. Akan tetapi Alhamdulillah, yang dideklair oleh NTB sejalan dengan hasil G20 di Bali, bahwa Indonesia melakukan percepatan mengurangi emisi gas kaca,” ujarnya.

NTB melakukannya melalui tiga program. Pertama, renewable energy misalnya dengan mendorong penggunaan motor listrik, kompor listrik. Kedua, pembangkit listrik yang menggunakan batu bara diganti dengan biomassa. Misalnya di PLTU Jeranjang menggunakan bahan bakar sampah, dan PLTU Sumbawa dengan tongkol jagung.

“Kita (NTB) sudah mulai, ganti bahan bakar dengan sampah, dengan tongkol jagung, dengan sekam padi. Itulah co-firing, mengubah PLTU batu bara menjadi biomassa,” jelas orang nomor dua di NTB ini.

Ketiga, NTB melakukan pengolahan sampah melalui program zero waste. Apa yang sudah berjalan di NTB ini terbilang cukup menggembirakan dan sejalan dengan target net zero emission dunia. Karena saat ini sudah 19 persen kontribusi energi terbarukan yang sudah berjalan.

“Alhamdulillah berkat kerjasama, kolaborasi semua pihak,” demikian Rohmi.(ABG)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IKLAN
Back to top button