Mataram (NTB Satu) – Para chef atau juru masak hotel sedang bekerja keras untuk membuat kreasi menu-menu berbuka puasa. Hal ini dilakukan, untuk menyiasati rendahnya okupansi atau tingkat kunjungan ke hotel selama Ramadan.
Fenomena ini memang terjadi hampir setiap awal memasuki Ramadan. Aktifitas berwisata nyaris sepi. Berkumpul dan berbuka puasa bersama keluarga menjadi pilihan. Sepuluh hari ke atas bulan Ramadan, barulah aktifitas berbuka puasa di luar menjadi ramai. Di restoran, di rumah makan, pun di tempat-tempat berkumpul dan berbuka lainnya.
Ketua Asosiasi Chef Indonesia Wilayah NTB, Anton Sugiono mengatakan, okupansi hotel rata-rata berada di angka 10 persen saat ini. Angka ini diketahuinya berdasarkan komunikasi dengan seluruh anggotanya.
“Karena wisatawan kan sepi. Tidak bisa diharapkan keterisian kamar di saat-saat seperti ini. Orang masih pada senang berkumpul dan berbuka puasa bersama keluarga,” katanya.
Untuk menyiasati minimnya okupansi hotel, para chef berkerasi membuat menu untuk menghidupkan restoran. Hampir semua hotel membuat paket berbuka puasa bersama. Harganya juga relatif sangat bersahabat. Dari Rp68.000/paket, hingga Rp122.000/paket.
Harga paket ini kata Anton masih sangat terjangkau jika dibandingkan dengan harga paket-paket berbuka puasa bersama di luar daerah. Misalnya di Surabaya kata Anton paketnya bisa mencapai di atas Rp300 ribu.
“Wisatawan dari luar belum bisa diharapkan. Sehingga orang-orang lokal ini yang kita harapkan berbuka puasa di restoran hotel. Makanya dibuat paket menu dengan harga cukup terjangkau,” imbuhnya.
Anton menambahkan, pergerakan pesanan berbuka puasa bersama di hotel biasanya mulai ramai di atas 10 hari puasa. Pesanan baik dari perusahaan, instansi, maupun lembaga-lembaga dan perkumpulan. Aneka menu berbuka yang dikreasikan mulai dari aneka takjil, kolak, es pudding, gado-gado, mie ayam,martabak. Untuk menu-menu berat umumnya menu tradisional yang dekat dengan selera masyarakat lokal.
“Ada juga yang menyedaikan menu kontinental (menu-menu khas Eropa). Tapi kisaran 10 persen saja. Untuk memenuhi kemungkinan permintaan. 90 persennya menu lokal,” demikian Anton.
Untuk menyiasati sepinya kunjungan ke hotel di awal-awal Ramadan, Asosiasi Chef Indonesia Wilayah NTB juga melakukan pembinaan kepada calon-calon chef yang akan direkrut oleh hotel. Salah satunya yang ada di Kabupaten Lombok Timur.
Para senior chef ini memberikan pelatihan membuat menu-menu berbuka puasa yang dapat dikomersilkan secara mandiri.
“Sebelum-sebelumnya, pilihan menu puasa banyak yang menggunakan minyak goreng. Di tengah kondisi sekarang, kita memberikan pelatihan supaya adik-adik ini membuat kreasi menu buka puasa dengan alternatif tanpa digoreng. Bisa dengan dipanggang,” katanya. (ABG)