Mataram (NTBSatu) – Beban belanja pegawai di Provinsi NTB terus membengkak, menghabiskan porsi terbesar dari total anggaran daerah.
Di tahun 2025, anggaran untuk belanja pegawai NTB mencapai Rp2,42 triliun, atau 42,1 persen dari total belanja daerah.
Data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB menunjukkan, anggaran ini naik 0,3 persen daripada tahun sebelumnya.
“Dana tersebut untuk membayar 19.002 Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk 6.779 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Serta, 65 anggota DPRD dan kepala daerah,” papar Direktur FITRA NTB, Ramli Ernanda, Jumat, 7 Februari 2025.
Besarnya alokasi belanja pegawai ini berisiko menggerus anggaran untuk kepentingan publik. Jika dirata-ratakan, setiap ASN, anggota DPRD, dan kepala daerah menerima Rp126,9 juta per tahun.
Nominal tersebut jauh lebih besar daripada belanja daerah per kapita yang hanya Rp1,1 juta per orang per tahun.
Tantangan Pemangkasan Anggaran dan Ancaman Layanan Publik
Kondisi ini juga membuat NTB sulit memenuhi ketentuan alokasi belanja pegawai maksimal 30 persen dari total anggaran daerah. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD)
Ketentuan ini akan berlaku efektif mulai 2027, namun hingga kini NTB masih berada di atas batas yang ditetapkan.
Setelah pengurangan belanja tambahan penghasilan guru, alokasi belanja pegawai NTB tetap tinggi. Mencapai Rp1,99 triliun atau 32,1 persen dari total belanja daerah.
Jika tren kenaikan ini terus berlanjut, Ramli menyebut, anggaran untuk sektor layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum akan semakin tergerus.
“Di tengah upaya pemerintah pusat untuk melakukan pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga, strategi efisiensi harus dilakukan secara selektif,” ujarnya.
Selain itu, ia menyerukan agar mewajib melakukan optimalisasi terhadap potensi pajak, mengurangi kebocoran anggaran, dan memanfaatkan aset daerah secara lebih produktif.
Kemudian, mengembangkan kerja sama publik-swasta (PPP) untuk proyek-proyek strategis guna mengurangi beban APBD tanpa mengorbankan layanan publik.
“Jika langkah-langkah ini tidak segera kita terapkan, NTB berisiko mengalami ketimpangan fiskal yang semakin besar. Di mana belanja pegawai terus meningkat sementara anggaran untuk pelayanan publik justru semakin terbatas,” pungkas Ramli. (*)