Pendidikan

Prof. Stella Soroti Maraknya Kekerasan Seksual di Lingkar Tambang NTB

Mataram (NTBSatu) – Maraknya kasus kekerasan seksual di wilayah lingkar tambang Nusa Tenggara Barat (NTB) mendapat sorotan serius dari Prof. Dr. Ir. Ruth Stella, pengurus LBH APIK sekaligus akademisi Universitas Mataram.

Ia mengatakan, kekerasan terhadap perempuan di kawasan industri ekstraktif bukan peristiwa insidental, melainkan persoalan struktural.

“Kekerasan seksual di lingkar tambang bukan kejadian yang berdiri sendiri. Ini lahir dari struktur sosial yang dibentuk oleh industri ekstraktif,” kata Prof. Stella, Selasa, 16 Desember 2025.

Pernyataan tersebut ia sampaikan saat menanggapi laporan penelitian LBH APIK NTB tentang situasi kekerasan berbasis gender di kawasan industri ekstraktif di Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat.

IKLAN

Menurutnya, kehadiran industri tambang membawa perubahan sosial yang sangat cepat, terutama dengan masuknya pekerja migran laki-laki dalam jumlah besar.

“Perubahan ini menciptakan ruang-ruang sosial yang maskulin. Sementara, mekanisme perlindungan terhadap perempuan tidak disiapkan sejak awal,” ujarnya.

Kondisi tersebut, lanjut Prof. Stella, membuat perempuan di lingkar tambang berada dalam posisi yang jauh lebih rentan terhadap kekerasan seksual dan bentuk kekerasan berbasis gender lainnya.

Ia menekankan, kekerasan seksual tidak bisa dianggap sebagai dampak sampingan pembangunan. “Kalau kita menyebutnya dampak sampingan, itu artinya kita menormalisasi kekerasan terhadap perempuan,” katanya.

Penelitian LBH APIK NTB menemukan, sebagian besar kasus kekerasan seksual di wilayah lingkar tambang tidak pernah terlaporkan secara resmi.

“Banyak korban memilih diam karena takut stigma, takut kehilangan penghidupan, dan tidak tahu harus mengadu ke mana,” ujar Prof. Stella.

Ia menambahkan, ketergantungan ekonomi keluarga pada sektor tambang sering kali membuat posisi korban semakin terjepit.

Di sisi lain, Prof. Stella menyoroti paradoks pembangunan di NTB. Meski sektor pertambangan berkontribusi besar terhadap pendapatan daerah, manfaat ekonomi tersebut tidak secara adil perempuan rasakan.

“Pembangunan tidak bisa disebut berhasil jika ia menciptakan ketidakamanan bagi perempuan,” tegasnya.

Peringatan Serius Bagi Pemerintah

Penelitian LBH APIK NTB juga mengungkap keterkaitan antara kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, dan meningkatnya kekerasan seksual di wilayah lingkar tambang.

Laporan tersebut menggunakan pendekatan Feminist Participatory Action Research (FPAR) yang menempatkan perempuan, termasuk penyintas, sebagai subjek utama penelitian.

“Ketika perempuan diberi ruang untuk bicara, kita bisa melihat bahwa kekerasan seksual ini adalah pola, bukan kebetulan,” kata Prof. Stella.

Pencegahan kekerasan seksual tidak bisa hanya dibebankan pada korban atau aparat penegak hukum. Menurut Prof. Stella, temuan di Kecamatan Maluk harus menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah dan pusat bahwa keadilan gender adalah fondasi pembangunan berkelanjutan, bukan isu pinggiran.

“Negara dan perusahaan harus bertanggung jawab atas kondisi sosial yang mereka ciptakan. Keadilan gender harus menjadi bagian dari kebijakan pertambangan,” ujarnya.

Gambaran Umum Pertambangan di NTB

Pada tahun 2023, NTB tercatat memiliki 355 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif dengan total luas mencapai sekitar 219.000 hektare. Izin tersebut tersebar di berbagai kabupaten dan mencakup komoditas batuan, mineral logam, dan non-logam.

Tingginya jumlah konsesi tambang menimbulkan tantangan serius terhadap tata ruang, karena banyak wilayah izin bersinggungan dengan hutan produksi, hutan lindung, wilayah adat, serta Daerah Aliran Sungai (DAS).

Beberapa perusahaan tambang besar menguasai area konsesi yang luas di NTB. PT Amman Mineral Nusa Tenggara tercatat memiliki konsesi sekitar 25.000 hektare, sementara PT Sumbawa Timur Mining menguasai sekitar 19.260 hektare.

Skala konsesi yang besar ini mencerminkan dominasi industri ekstraktif dalam pemanfaatan ruang wilayah NTB. Dan menjadi konteks penting dalam membaca dampak sosial, lingkungan, serta kerentanan masyarakat termasuk perempuan di kawasan lingkar tambang. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button