Sektor Peternakan NTB Sumbang Nilai Ekonomi Rp6,8 Triliun
Mataram (NTBSatu) – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan signifikan jumlah perusahaan peternakan di NTB sepanjang 2024. Dari total 227 perusahaan peternakan besar dan kecil di seluruh Indonesia, NTB berada di posisi kedua terbanyak dengan 34 perusahaan.
Kepala BPS NTB, Wahyudin menilai data tersebut sebagai sinyal meningkatnya kepercayaan pelaku usaha terhadap sektor peternakan NTB.
“Pergerakan ini menunjukkan NTB punya ruang tumbuh yang semakin besar. Investor datang karena melihat kita sangat potensial,” ujarnya dihubungi NTBSatu, Jumat, 14 November 2025.
Momentum positif ini sejalan dengan posisi NTB sebagai salah satu pemasok ternak terbesar untuk provinsi lain. Menurutnya, capaian tersebut cukup menarik karena NTB mampu berada di atas provinsi-provinsi besar seperti Jawa Timur dan Lampung.
“Ini bukan soal siapa terbesar, tapi bagaimana NTB mampu mempertahankan karakter sebagai daerah peternakan yang kuat,” tambahnya.
Tanggapan Pemprov NTB
Sementara Kepala Bappeda NTB, Dr. Iswandi, menyebut perkembangan tersebut sebagai penguatan peran alamiah NTB di sektor peternakan.
“Kita berbicara tentang identitas daerah. NTB sudah sejak lama menjadi sumber bibit dan ternak potong. Itu bukan klaim,” ucapnya.
Ia mengingatkan, NTB pernah mengekspor sapi dan kerbau langsung ke Hongkong dan Singapura sebelum kebijakan nasional tahun 1978 menahan ekspor untuk memenuhi kebutuhan domestik.
“Kapasitas kita tidak pernah hilang. Pasar hanya berubah arah, tapi perannya tetap ada,” kata Iswandi.
Potensi alam daerah ini memang menjadi penopang utama. Padang penggembalaan yang luas, iklim yang cocok, dan budaya beternak yang mengakar membuat NTB selalu punya stok ternak yang stabil.
“Di banyak wilayah, beternak itu bukan hanya usaha, tapi tradisi. Itu modal sosial yang tidak dimiliki semua daerah,” ungkapnya.
Dalam dokumen rencana jangka menengah NTB 2025–2029, pertumbuhan populasi sapi potong tercatat stabil dengan rata-rata 0,5 persen per tahun sepanjang 2020–2024.
Sementara itu, komoditas unggas mengalami kenaikan signifikan. Ayam ras pedaging tumbuh 21,42 persen per tahun, dan ayam ras petelur naik 18,20 persen.
Secara ekonomi, nilai subsektor peternakan juga terus meningkat dari Rp5,2 triliun pada 2020 menjadi Rp6,8 triliun pada 2024. Meski persentase kontribusinya sempat fluktuatif, Iswandi melihat tren jangka panjangnya tetap kuat.
“Yang penting bukan hanya naik-turunnya persentase, tapi bagaimana sektor ini memberi ruang hidup lebih baik bagi masyarakat,” jelasnya.
Ia menegaskan, langkah selanjutnya adalah mendorong hilirisasi. Selama ini, sebagian besar nilai ekonomi justru keluar dari NTB karena ternak dijual dalam kondisi hidup.
“Kalau kita ingin peternakan menjadi motor ekonomi daerah, industrinya harus hadir. Nilai tambah harus tinggal di sini,” jelasnya.
Iswandi optimistis kombinasi potensi alam, pengalaman panjang NTB dalam peternakan, serta bertambahnya jumlah perusahaan akan memperkuat posisi NTB sebagai lumbung ternak nasional.
“Arah pembangunan sudah jelas. Tinggal kita jaga momentumnya,” tutupnya. (*)



