Hanya 10 Persen Tambak Udang di NTB Punya Izin Resmi

Mataram (NTBSatu) – Geliat investasi tambak udang di Nusa Tenggara Barat (NTB) terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Maraknya investasi tambak udang di NTB ternyata menyisakan masalah serius.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan, hanya sekitar 10 persen tambak yang berizin resmi. Sisanya, beroperasi tanpa legalitas, tanpa pengawasan, dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.
Dari 779 unit tambak udang yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota, hanya 82 yang tercatat memiliki Izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), dokumen utama legalitas usaha di wilayah pesisir dan laut. Artinya, sekitar 90 persen tambak di NTB beroperasi tanpa izin sah.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Muslim mengungkapkan, seluruh proses perizinan kini sepenuhnya dikelola oleh pemerintah pusat melalui sistem Online Single Submission (OSS).
“Sekarang semua izin lewat OSS, pengajuannya langsung oleh pelaku usaha ke pusat. Pemerintah daerah hanya memantau,” jelasnya, Minggu, 12 Oktober 2025.
Sistem baru ini, menurut Muslim, membuat pemerintah daerah kehilangan kewenangan. Padahal, dampak sosial dan lingkungan dari tambak-tambak tersebut paling terasa di lapangan.
“Kalau izin diterbitkan tanpa melihat kondisi sosial masyarakat setempat, potensi konflik dan kerusakan ekosistem bisa muncul,” ujarnya.
Lombok Timur Paling Padat Tambak
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Kabupaten Lombok Timur menjadi wilayah dengan jumlah tambak komersial terbanyak, jumlahnya 53 unit.
Menyusul Kabupaten Sumbawa dengan 50 tambak komersial, dan Lombok Tengah yang memiliki hingga 290 tambak tradisional tanpa unit komersial besar. Sementara, Kabupaten Bima memiliki 34 perusahaan tambak besar dan 52 tambak tradisional. Kemudian, Kota Mataram justru minim aktivitas tambak, hanya memiliki beberapa unit berskala kecil.
Proses Izin Rumit, Pengawasan Lemah
Industri ini memang menjanjikan, tapi tanpa tata kelola yang kuat, keuntungan jangka pendek bisa berbalik menjadi kerugian ekologis dan sosial di masa depan.
Urusan birokrasi yang berbelit membuat banyak tambak belum memenuhi syarat lingkungan dan pengelolaan limbah.
Beberapa bahkan belum memiliki Sertifikat Laik Operasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (SLO IPAL). Padahal ini penting untuk mencegah pencemaran ekosistem pesisir.
“Banyak pelaku usaha belum tuntas mengurus izin karena prosesnya lama dan semua harus diverifikasi di pusat,” terang Muslim.
Ia mengingatkan, tanpa pengawasan dan kepatuhan lingkungan, risiko kerusakan kawasan pesisir NTB semakin besar. Muslim juga menyoroti ketimpangan tanggung jawab antara pusat dan daerah.
“Kalau ada pencemaran atau konflik sosial, masyarakat datangnya ke pemda. Tapi untuk izin, semua pusat yang pegang. Kami tidak bisa menindak,” katanya dengan nada getir.
Ia berharap ada evaluasi terhadap kebijakan perizinan terpusat agar daerah kembali diberi ruang untuk menyesuaikan izin dengan kearifan lokal dan daya dukung lingkungan.
“Ekonomi boleh tumbuh, tapi jangan sampai alam dan masyarakat lokal jadi korban,” tutup Muslim. (*)