OpiniWARGA

Belajar dari Cepe Rima-Karawi’i Ri’i, Model Deep Learning Berbasis Kearifan Lokal Bima-Dompu

Oleh: Rizalul Fiqry – Mahasiswa S3 Pendidikan UAD, Dosen STKIP Taman Siswa Bima

Di Bima dan Dompu, ada sebuah budaya yang dulu menjadi nadi kehidupan sosial masyarakat: cepe rima. Yang secara harfiah berarti “ganti tangan”, dan di kalangan masyarakat Suku Donggo dikenal dengan nama karawi ri’i. Keduanya berakar pada semangat gotong royong yang begitu kuat.

Melalui tradisi ini, masyarakat saling membantu dalam berbagai kegiatan. Seperti, membabat ladang (ngoho), membersihkan gulma (hui), memanen hasil pertanian (losa hasi), hingga memindahkan rumah panggung (hanta uma), yang kadang dilakukan sebagai bagian dari mahar pernikahan.

Semua dilakukan dengan prinsip howi cola kai howi, yang berarti keringat dibayar dengan keringat. Tidak ada uang yang berpindah tangan, tetapi ada nilai sosial yang tumbuh. Kepercayaan, kebersamaan, dan rasa saling bergantung.

Di tengah kegiatan seperti ini, masyarakat belajar menakar kemampuan dirinya dan orang lain. Siapa yang kuat, siapa yang cepat, siapa yang sabar, semuanya tampak dalam ritme kerja kolektif itu. Anak-anak yang ikut membantu orang tua mereka belajar tentang arti kerja sama tanpa perlu diajarkan lewat teori.

Mereka menyerap nilai gotong royong dari pengalaman nyata, dari peluh dan tawa bersama. Cepe rima bukan hanya kerja fisik, tapi juga sekolah kehidupan tempat karakter dibentuk.

Namun, seiring masuknya modernitas, tradisi ini mulai memudar. Mesin-mesin menggantikan tenaga manusia, uang menggantikan keringat, dan nilai sosial berubah menjadi nilai ekonomi. Orang kini lebih memilih membayar pekerja daripada saling membantu.

Hubungan antarwarga yang dulu diikat oleh kepercayaan kini bergeser menjadi hubungan transaksional. Hilangnya cepe rima berarti pula hilangnya ruang sosial tempat masyarakat belajar tentang kebersamaan. Dan, ketika ruang itu hilang, kita mulai kehilangan empati.

Dampak paling nyata terlihat dalam kehidupan sosial kita hari ini. Konflik antar kelompok remaja semakin sering terjadi. Solidaritas menurun, bahkan di kalangan pelajar sekolah menengah, benturan kecil sering kali memicu pertikaian yang meluas.

Masyarakat tampak ramai, tetapi di dalamnya sepi dari keakraban. Saya menyebut kondisi ini sebagai reaksi fusi sosial. Sebuah keadaan dimana terlepasnya energi ikat inti sosial. Orang tampak hidup berdampingan, tetapi tidak lagi saling terhubung secara emosional. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri, dan kebersamaan menjadi semu.

Di tengah kondisi seperti ini, sekolah seharusnya bisa menjadi ruang pemulihan sosial. Sayangnya, pendidikan kita justru sering terjebak dalam pola belajar yang mekanistik. Siswa diajarkan banyak hal, tetapi sedikit yang benar-benar menyentuh makna hidup.

Mereka belajar definisi gotong royong dari buku teks, tetapi tidak pernah mengalami bagaimana rasanya bekerja bersama. Sekolah menjadi tempat menimbun pengetahuan, bukan membangun kemanusiaan. Padahal, pendidikan sejati adalah proses membentuk manusia yang mampu hidup bersama secara bermakna.

Konsep deep learning dalam pendidikan sebenarnya bisa menjadi jalan untuk mengembalikan ruh kebersamaan itu. Deep learning bukan sekadar istilah teknologi atau algoritma, melainkan pendekatan pembelajaran yang mengajak siswa berpikir mendalam, reflektif, dan kontekstual. Ia mengajarkan peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan dengan pengalaman hidup, belajar melalui kerja sama, dan menumbuhkan empati sosial. Pembelajaran yang mendalam tidak berhenti pada “mengerti pelajaran”, tetapi menembus sampai pada “mengerti makna”.

Nilai-nilai dalam deep learning ini sejatinya sangat serasi dengan filosofi cepe rima dan karawi ri’i. Dalam cepe rima, setiap orang belajar untuk bekerja dalam tim, menghormati ritme orang lain, dan mengukur kemampuan diri sebelum membantu. Itulah bentuk refleksi dan empati yang menjadi inti dari deep learning. Keduanya sama-sama menekankan bahwa belajar bukan tentang siapa yang paling cepat atau paling pandai, melainkan siapa yang paling mampu memahami dan bekerja bersama orang lain. Dalam bahasa sederhana, deep learning adalah “belajar dengan hati”, sedangkan cepe rima adalah “bekerja dengan hati”. Dua-duanya menumbuhkan manusia sosial yang utuh.

Sekolah dasar dan menengah memiliki peran strategis untuk menanamkan kembali semangat ini. Guru bisa mengintegrasikan nilai-nilai cepe rima ke dalam pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) atau pembelajaran berbasis studi kasus (Case Base Learning).

Misalnya, melalui kegiatan kolaboratif yang melibatkan seluruh siswa secara bergantian. Mereka bisa diajak untuk melakukan proyek sosial seperti membersihkan lingkungan, membantu warga sekitar, atau membuat taman sekolah bersama.

Kegiatan ini bukan hanya soal kerja fisik, tapi tentang pengalaman bekerja dalam kebersamaan. Anak-anak belajar bahwa setiap tugas bisa menjadi ringan jika dikerjakan bersama, dan setiap kerja keras akan berarti lebih jika dilakukan untuk orang lain.

Selain itu, pembelajaran reflektif juga penting dilakukan. Setelah setiap kegiatan kolaboratif, siswa dapat menuliskan jurnal refleksi. Apa yang mereka rasakan ketika membantu teman, apa tantangannya, dan bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari perubahan sosial. Dengan cara ini, nilai-nilai cepe rima bukan sekadar dikenang sebagai tradisi, tetapi dihidupkan kembali dalam bentuk pengalaman belajar modern. Inilah yang disebut deep learning berbasis kearifan lokal. Pembelajaran yang lahir dari akar budaya sendiri, tetapi berorientasi pada masa depan.

Kurikulum nasional sebenarnya memberi ruang untuk ini melalui konsep Merdeka Belajar. Namun, penerapannya akan bermakna jika disesuaikan dengan konteks budaya daerah. Di Bima dan Dompu, cepe rima bisa menjadi model pembelajaran kontekstual yang kaya nilai. Misalnya, sekolah dapat menyelenggarakan program tahunan “Pekan Cepe Rima”, di mana siswa, guru, dan masyarakat bergotong royong menyelesaikan satu proyek sosial bersama. Kegiatan seperti ini bukan hanya menumbuhkan empati dan solidaritas, tetapi juga memperkuat ikatan sosial antar generasi.

Pemerintah daerah pun dapat berperan dalam menjadikan nilai-nilai ini sebagai bagian dari kebijakan pendidikan berbasis budaya. Dengan demikian, kearifan lokal tidak lagi sekadar cerita masa lalu, tetapi menjadi fondasi karakter masa depan.

Jika Jepang menanamkan disiplin lewat budaya bersih, dan Finlandia membentuk empati lewat kolaborasi tanpa kompetisi, maka Indonesia dapat menanamkan semangat sosial melalui gotong royong ala cepe rima. Dari sinilah kita membangun pendidikan yang tidak hanya mencetak orang cerdas, tetapi juga manusia yang saling peduli.

Fenomena fusi sosial yang kini melanda generasi muda, tampak terhubung secara digital namun terputus secara sosial, perlu dihadapi dengan rekonstruksi nilai kebersamaan. Sekolah adalah ruang paling efektif untuk itu. Anak yang terbiasa menolong temannya akan tumbuh menjadi remaja yang empatik, dan remaja yang empatik akan menjadi warga yang peduli. Pengalaman sosial di usia sekolah akan menjadi modal moral yang tak tergantikan oleh teori apa pun.

Kini saatnya kita kembali menjahit ikatan sosial yang mulai longgar. Tradisi cepe rima mungkin tak lagi terdengar di ladang, tetapi nilainya bisa hidup kembali di ruang kelas. Guru dapat menjadi fasilitator yang menumbuhkan semangat howi cola kai howi dalam bentuk modern: tenaga dibayar tenaga, ilmu dibayar ilmu, waktu dibayar waktu. Setiap kegiatan belajar bisa menjadi ruang untuk saling bantu, setiap tugas bisa menjadi pengalaman gotong royong. Dengan begitu, pembelajaran bukan sekadar jalan menuju prestasi akademik, tetapi juga perjalanan membentuk kemanusiaan.

Kita sering berbicara tentang pentingnya inovasi dan teknologi dalam pendidikan. Namun, teknologi tanpa nilai akan kehilangan arah. Di sinilah kearifan lokal berfungsi sebagai kompas moral. Nilai-nilai seperti cepe rima memberi makna pada setiap kemajuan, memastikan bahwa kita tidak hanya bergerak cepat, tetapi juga bergerak bersama. Pendidikan yang berakar pada budaya lokal justru lebih kuat menghadapi arus globalisasi, karena ia menumbuhkan identitas dan karakter sosial yang kokoh.

Kita memang tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa membawa nilai-nilainya ke masa depan. Cepe rima dan karawi ri’i adalah warisan sosial yang sesungguhnya dapat menjadi model pembelajaran masa kini: kolaboratif, reflektif, empatik, dan kontekstual.

Masyarakat Bima dan Dompu telah membuktikan bahwa kerja bersama tanpa pamrih dapat menciptakan harmoni sosial. Kini tugas pendidikanlah untuk meneruskan nilai itu agar tidak hilang ditelan waktu.

Hilangnya cepe rima tidak boleh berarti berakhirnya gotong royong. Justru dari kehilangan itulah kita belajar bahwa ada hal-hal yang tak bisa digantikan oleh mesin atau uang: rasa saling percaya, empati, dan kebersamaan.

Jika tangan-tangan di ladang dulu berganti dalam kerja bersama, biarlah tangan-tangan di ruang kelas kini berganti dalam semangat belajar bersama. Dari situlah energi ikat sosial akan tumbuh kembali, menyalakan api kebersamaan yang pernah padam. Dan, mungkin suatu hari nanti, ketika anak-anak kita bekerja sama di kelas tanpa saling menunggu imbalan, ketika mereka belajar menolong teman dengan tulus, kita bisa berkata dengan bangga: cepe rima belum benar-benar hilang. Ia hanya beristirahat sejenak, menunggu untuk dihidupkan kembali melalui pendidikan. (*)

Berita Terkait

Back to top button