Akademisi Unram Sebut Pelantikan Irnadi sebagai Kepala DPMPTSP NTB Melanggar Administrasi

Mataram (NTBSatu) – Pelantikan Irnadi Kusuma sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi NTB, masih menjadi sorotan.
Akademisi Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram (Unram), Dr. Syamsul Hidayat menyebut, pelantikan Irnadi sebagai Kepala DPMPTSP Provinsi NTB, melanggar administrasi. Jika ditinjau pada perspektif Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2024 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Sebenarnya lebih kepada pelanggaran dari sisi administrasi, yang tidak memperhatikan rekam jejak pejabat yang sebelumnya pernah dihukum,” kata Dr. Syamsul ditemui di ruangannya, Selasa, 23 September 2025.
Sebagai informasi, Irnadi pernah terbukti bersalah dalam kasus pidana dan dijatuhi hukuman penjara enam bulan.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Mataram pada 7 Desember 2020 lalu, Irnadi terbukti secara sah melakukan tindak pidana mengadakan perkawinan padahal mengetahui perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah.
Wakil Dekan II FHISIP Unram ini menyampaikan, berdasarkan putusan pengadilan tersebut, perbuatan Irnadi termasuk dalam pelanggaran disiplin PNS. Hal ini sebagaimana dalam PP Nomor 94 Tahun 2021.
“Kalau konteks perbuatannya dia (Irnadi) menikah lagi tanpa izin istri sebelumnya, maka dia masuk kategori tindak pidana. Ketentuan pidana yang dilanggar itu diatur dalam KUHP pasal 279,” jelasnya.
Sebut Irnadi Melanggar Disiplin PNS
Dalam konteks ini, lanjut Dr. Syamsul, Irnadi juga melanggar peraturan tentang disiplin PNS. Disebutkan secara khusus pada Pasal 41 PP Nomor 94 Tahun 2021. Yaitu, PNS yang melanggar PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, sebagaimana diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990, maka dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin berat.
Adapun jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dalam PP tersebut terbagi menjadi tiga. Di antaranya: penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan. Kedua, pembebasan dari jabatan menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan. Serta, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
“Jadi kalau orang sudah divonis secara inkrah melakukan tindak pidana sebagimana dalam Pasal 279, dia harus dihukum dengan hukuman disiplin berat,“ ujarnya.
Aturan ini, lanjut Dr. Syamsul, yang harus pemimpin daerah tegakkan. Menjadi patokan dan dasar dalam mengambil keputusan mengangkat pejabat. Yaitu, melihat rekam jejak dan track record-nya.
Namun apabila masih mengangkat seseorang yang sudah terbukti bersalah, dalam hal ini melanggar PP Nomor 94 Tahun 2021, maka termasuk pelanggaran administrasi.
“Walaupun itu (kasusnya) sudah lama. Karena itu rekam jejak. Dia sudah ada pelanggaran disiplin. Itu record itu,” ujarnya.
Dalam kasus ini, informasinya Irnadi tidak diberhentikan secara tidak hormat dan hanya dibebaskan dari jabatan (bukan dari status ASN). Ia pun sudah menjalani hukuman tersebut.
Harus Pertimbangkan Rekam Jejak dan Track Record
Meski demikian, tegas Dr. Syamsul, harusnya pimpinan mempertimbangkan lagi memilih yang bersangkutan menjadi kepala DPMPTSP. Mengingat kasusnya, termasuk pelanggaran disiplin berat PNS.
Harusnya orang yang dimandatkan menduduki posisi jabatan strategis seperti ini adalah yang memiliki reputasi, integritas, rekam jejak yang baik, moral yang standar etikanya tinggi.
“Apalagi mau mengelola pemerintahan, mengelola keuangan, mengelola bagaimana penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri. Ini betul-betul orang harus punya reputasi bagus. Nah kalau dia sudah pernah dihukum sebelumnya itu catatan. Harusnya dia dikeluarkan dari orang-orang yang akan dipilih menduduki jabatan itu, karena pernah ada kasus pelanggaran etiknya,” jelasnya Wakil Dekan II FHISIP Unram ini.
Berangkat dari kejadian ini, Dr. Syamsul berharap, pemimpin daerah dalam memilih pejabat harus benar-benar memperhatikan rekam jejak dan track record-nya. Baik untuk jabatan kepala dinas, kepala badan, dan sebagainya.
“Cek apakah dia pernah melakukan pelanggaran hukum, disiplin etik. Kita masih banyak orang-orang yang punya potensi juga. Kalau memang mau menerapkan asas meritokrasi itu. Siapa pun dia, mau dari lingkaran pimpinan atau tidak, yang penting punya kapasitas dan rekam jejak yang baik,” ungkapnya.
Di samping itu, ia juga berharap, skema reward and punishment (penghargaan dan hukum, red) tetap berlaku dalam memilih pejabat. “Kalau yang sudah punya kesalahan ya dihukum sudah, cari yang memang yang tidak pernah buat salah. Itu yang kita kasih reward,” ujarnya.
Pelantikan Irnadi Kusuma sebagai Kepala DPMPTSP NTB
Sebelumnya, Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal melantik 13 pejabat lingkup Pemprov NTB. Rinciannya, delapan pejabat eselon II dan lima pejabat eselon III. Pelantikan berlangsung di Pendopo Gubernur NTB, Rabu, 17 September 2025.
Di antara 13 pejabat tersebut, enam orang merupakan hasil seleksi terbuka pada Agustus 2025 lalu. Salah satunya, Irnadi Kusuma yang menjadi Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB.
Pelantikan Irnadi sebagai kepala DPMPTSP, menuai sorotan. Pasalnya, pejabat tersebut pernah terbukti bersalah dalam kasus pidana dan dijatuhi hukuman penjara enam bulan.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Mataram pada 7 Desember 2020 lalu, Irnadi terbukti secara sah melakukan tindak pidana mengadakan perkawinan padahal mengetahui perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah.
Karenanya, Irnadi terjerat Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, jo UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 279 ayat (1) KUHP.
Terhadap putusan itu, Irnadi sempat mengajukan kasasi. Namun, permohonan kasasi ditolak tertanggal 23 Maret 2021. Karenanya, harus menjalani pidana selama enam bulan. (*)