Opini

Menimbang Posisi Staf Ahli Gubernur dan Usulan Penghapusan oleh Pansus SOTK DPRD NTB

Oleh: Dr. H Ahsanul Halik – Staf Ahli Gubernur Bidang Sosial Kemasyarakatan

Adanya usulan dari Ketua Panitia Khusus (Pansus) SOTK DPRD Provinsi NTB untuk menghapus jabatan Staf Ahli Gubernur dalam usulan Pemerintah Provinsi NTB pada rancangan Perubahan Peraturan Daerah tentang struktur organisasi yang saat ini sedang dibahas di DPRD NTB, didasari dengan alasan efisiensi serta persepsi bahwa jabatan tersebut hanya menjadi tempat “memarkir” pejabat eselon II. Usulan Ketua Pansus yang dimuat dalam berbagai pemberitaan memperkuat narasi bahwa posisi ini dianggap tidak efektif dalam mendukung kinerja pemerintahan.

Namun, pendekatan seperti ini harus ditelaah dengan tenang dan komprehensif, sehingga betul-betul melalui pemahaman yang terbaik pada akar persoalannya, karena kita tidak menginginkan usulan penghapusan justru bisa menghilangkan fungsi kelembagaan yang sangat strategis bagi kepala daerah. Dalam kondisi keberadaan Staf Ahli Gubernur saat ini yang lebih tepat dilakukan adalah membenahi, memperkuat, dan mengoptimalkan peran staf ahli, bukan menghapusnya dari sistem.

Pentingnya memahami bahwa Staf Ahli Gubernur bukanlah jabatan seremonial, tapi sesungguhnya memiliki fungsi strategis. Secara hukum, jabatan staf ahli diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, sebagaimana diubah dengan PP Nomor 72 Tahun 2019, dan dijelaskan lebih lanjut dalam Permendagri Nomor 11 Tahun 2019. Memang bersifat opsional, namun keberadaannya disediakan untuk membantu kepala daerah menyusun analisis kebijakan, kajian tematik, dan panduan strategis lintas sektor.

Menghapus jabatan staf ahli karena anggapan kerja yang tidak efektif dan dalam rangka efisiensi birokrasi adalah langkah yang harus didikirkan dengan bijak. Jika efisiensi dimaknai sekadar memangkas jumlah jabatan, maka risiko terbesar adalah hilangnya fungsi-fungsi penting yang justru menopang kualitas kebijakan publik.

IKLAN

Jumlah staf ahli hanya tiga orang. Beban anggarannya relatif kecil dibandingkan dengan unit struktural lain. Sebaliknya, manfaatnya dapat kita kuatkan untuk kepentingan daerah yanh lebih besar jika diisi oleh sosok yang tepat dan difungsikan secara optimal. Staf ahli bisa memberikan kajian kritis terhadap kebijakan strategis, menyusun narasi kebijakan kepala daerah, dan memfasilitasi koordinasi lintas sektor dengan pendekatan akademik dan evidence based.

Untuk itu kita harua menghindari kesalahan pemahaman dalam kelembagaan, kita tidak ingin pemerintahan daerah menjadi struktur kaku yang kehilangan kemampuan berpikir reflektif. Pemerintahan yang baik bukan hanya soal rampingnya struktur, tapi soal kecerdasan institusional. Kehadiran staf ahli justru menjadi simbol bahwa pemerintah daerah menghargai ilmu pengetahuan, analisis mendalam, dan pandangan lintas perspektif dalam merumuskan kebijakan.

DPRD sebagai mitra sejajar eksekutif sangatlah bijak dan lebih tepat untuk mendukung upaya peningkatan kualitas kelembagaan, bukan melucuti fungsi strategis yang sesungguhnya dibutuhkan.

IKLAN

Dalam konteks NTB yang sedang berkembang, tantangan-tantangan pembangunan seperti kemiskinan, ketimpangan wilayah, krisis iklim, transformasi ekonomi pasca tambang dan berbagai persoalan lainnya, hingga agenda reformasi sosial membutuhkan pemikiran lintas disiplin. Semua ini tidak cukup ditangani oleh organisasi perangkat daerah yang bersifat teknis dan sektoral. Di sinilah Staf Ahli Gubernur seharusnya hadir sebagai mitra berpikir yang objektif, analitis, dan strategis.

Efektivitas lemah, bukan hal yang kemudian dianggap tepat sebagai alasan pembenar untuk Penghapusan, jika efektivitas kinerja staf ahli selama ini dirasa belum maksimal, yang harus dikritisi adalah sistem penugasannya, pola rekrutmen, serta governance fungsi kelembagaan tersebut. Masalah efektivitas bukan diselesaikan dengan eliminasi, melainkan dengan penguatan. Yang penting menjadi langkah perubahan untuk dilakukan oleh Pemerintah provinsi NTB adalah perlunya menetapkan indikator kinerja staf ahli yang konkret dan relevan dengan agenda strategis pembangunan daerah.

Tidak dapat dipungkiri, ada praktik birokratis yang menjadikan staf ahli sebagai tempat transisi pejabat. Tapi itu adalah problem manajemen SDM, bukan salah struktur kelembagaan. Solusinya adalah dengan memperkuat kriteria pengisian jabatan staf ahli dan memastikan bahwa yang menduduki posisi tersebut memiliki kompetensi substansial dan latar belakang sesuai dengan kebutuhan analitis kepala daerah.

Menjawab masalah yang ada maka PDPRD sebaiknya mendorong penguatan fungsi staf ahli, dalam hal ini sebagai lembaga legislatif yang punya fungsi pengawasan dan pembentukan perda, DPRD sangat lah tepat untuk mendorong penguatan fungsi Staf Ahli Gubernur. Justru dengan memperkuat posisi ini, koordinasi lintas sektor dan konsistensi arah kebijakan provinsi dapat dijaga. Staf ahli yang profesional dan berintegritas akan menjadi penyeimbang di tengah tekanan politis dan teknokratis dalam pengambilan keputusan daerah.

Pemerintah daerah yang cerdas tidak mungkin bekerja tanpa kapasitas berpikir strategis. Dalam banyak model pemerintahan modern, posisi seperti staf ahli justru diperkuat agar kepala daerah tidak terjebak pada rutinitas birokrasi atau agenda sektoral yang parsial.

Menimbang untuk menghapus Staf Ahli Gubernur semata karena alasan efisiensi atau asumsi ketidakefektifan justru menunjukkan kegagalan memahami fungsi pemerintahan strategis. Perlu evaluasi, ya. Perlu perbaikan tata kelola, tentu. Tapi menghapusnya sama saja dengan membatasi ruang berpikir jangka panjang kepala daerah.

Provinsi NTB saat ini membutuhkan kepemimpinan yang ditopang oleh kapasitas analisis dan koordinasi lintas sektor. Dan Staf Ahli Gubernur adalah salah satu instrumen penting dalam memastikan hal itu berjalan. Maka, bukan penghapusan yang dibutuhkan, tetapi penguatan peran, penajaman fungsi, dan profesionalisasi pengisian jabatannya. (*)

Berita Terkait

Back to top button