Diskusi Dugaan Korupsi NCC: Membedah Peran dan Peluang Rehabilitasi Terdakwa Rosiady
Mataram (NTBSatu) — Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram (Unram) melalui Sorot Kampus Merah (Sorot Kamera) kembali menyelenggarakan diskusi publik dalam rangkaian Sorot Kamera Seri ke-12 dengan tema “Membongkar Skandal Korupsi NCC, Peran, dan Potensi Rehabilitasi Rosiady sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat.”
Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Prof. Zainal Asikin, Gedung A Program Studi Ilmu Hukum FHISIP Universitas Mataram dengan menghadirkan tiga narasumber utama.
Pertama, Taufan, S.H., M.H., Dr selaku Dosen Bagian Hukum Pidana FHISIP Unram. Ainuddin, S.H., M.H., selaku Advokat dan Dr. Syamsul Hidayat, S.H., M.H., selaku Dosen Bagian Hukum Pidana FHISIP Unram.
Kegiatan dibuka secara resmi oleh Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, S.H., M.H., selaku Dekan FHISIP Unram menegaskan, Sorot Kamera hadir sebagai forum diskusi akademik yang independen dalam menelaah isu hukum yang berkembang di masyarakat.
Ia menyoroti bahwa perkara yang melibatkan Prof. Rosiady masih menyisakan ruang perdebatan.
“Perkara ini tidak bisa dilihat secara parsial dan setengah-setengah. Kita perlu melihatnya secara utuh dan komprehensif agar penilaian hukumnya objektif dan berimbang,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa para narasumber dihadirkan untuk memberikan perspektif yang beragam.
Dalam pemaparannya, Taufan menguraikan secara rinci konstruksi dakwaan dalam perkara NCC yang menggunakan dakwaan primair Pasal 2 dan subsidair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Ia menjelaskan bahwa dalam dakwaan tersebut Prof. Rosiady diposisikan sebagai pihak yang turut serta dalam pengelolaan aset daerah terkait skema Bangun Guna Serah (BGS/BOT).
Senada dengan hal tersebut, Taufan Menyoroti terkait perhitungan kerugian Negara. Dalam hal ternyata akuntan public yang dipakai di lapangan tidak terverifikasi. “Bagaimana kemudian kita mau menguji sahnya penghukuman ketika yang digunakan adalah akuntan publik yang tidak terverifikasi?” ujarnya.

Senada dengan hal tersebut Dr. Ainuddin, menekankan bahwa perkara korupsi kerap disajikan kepada publik secara simplistik sehingga menutup ruang diskusi hukum yang sehat. Ia menilai terdapat kejanggalan dalam proses interpretasi hukum yang cenderung memaksakan peristiwa administratif ke dalam kerangka pidana.
“Prof. Rosiady seolah-olah sebagai tumbal kriminalisasi dalam proses hukum yang tidak tepat,” ujarnya. Menurutnya, tindakan Prof. Rosiady dalam menandatangani dokumen serah terima tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan proses, kajian teknis, dan tujuan pembangunan NCC sebagai bagian dari visi “NTB Bersaing.”
Ia menyatakan bahwa Prof. Rosiady memiliki hak untuk mendapatkan rehabilitasi, mengingat perkara masih berjalan dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan keadilan substantif.
Sementara itu, Dr. Syamsul Hidayat menyoroti kesalahan mendasar dalam banyak perkara pidana korupsi yang keliru sejak awal memilih jalur hukum.
Ia menegaskan bahwa Pasal 2 UU Tipikor mensyaratkan kerugian negara yang nyata dan pasti. “Tanpa kerugian negara yang jelas dan dinyatakan oleh lembaga yang berwenang, delik korupsi kehilangan fondasi utamanya,” ujarnya.
Ia juga menyoroti berlakunya KUHP Nasional yang mengharuskan penggunaan ketentuan yang lebih menguntungkan terdakwa dalam upaya kasasi. Terkait rehabilitasi, ia menyatakan, “Amnesti dan abolisi kini diakui secara eksplisit sebagai alasan gugurnya pemidanaan, dan ini menjadi opsi konstitusional yang patut dipertimbangkan.
Dalam sesi, peserta mengajukan beberapa pertanyaan mulai dari kecenderungan kriminalisasi terhadap perkara yang sejatinya berada dalam ranah perdata, tanggung jawab pejabat publik dalam penandatanganan dokumen administratif, hingga relevansi petisi publik terhadap proses kasasi di Mahkamah Agung.
Diskusi kemudian ditutup dengan harapan agar seluruh catatan dan hasil diskusi ini tidak berhenti sebagai wacana, tetapi dapat menjadi refleksi untuk memperbaiki cara berhukum ke depannya. (*)



