Mataram (NTBSatu) – Puluhan peternak sapi asal Bima dan Dompu menggelar aksi demonstrasi di Pelabuhan Gili Mas, Lombok Barat, pada Minggu, 20 April 2025.
Aksi ini buntut ratusan truk pengangkut sapi tak kunjung berangkat menuju Jabodetabek. Akibatnya, 14 ekor ternak mati karena mengalami dehidrasi dan kepanasan.
Peternak menumpahkan kemarahan mereka di area pelabuhan karena tidak adanya kepastian keberangkatan kapal.
“Kami demo tadi pagi. Kalau dibiarkan, kami khawatir peternak melakukan tindakan melanggar hukum. Kami hanya mohon kebijaksanaan pemerintah,” ujar Koordinator Asosiasi Peternak dan Pedagang Sapi Bima Indonesia, Furkan Sangiang kepada NTBSatu.
Aksi protes ini mengungkap kondisi darurat di Pelabuhan Gili Mas. Truk-truk pengangkut sapi terus mengantre tanpa kepastian. Akibatnya, puluhan sapi sakit dan ratusan lainnya dalam kondisi kritis.
Peternak terpaksa tidur di atas tikar dan kerikil pelabuhan untuk menjaga sapi-sapi mereka tetap hidup.
Ketua Gapehani Kabupaten Bima, Muziburrahman, menegaskan para peternak telah merawat sapi selama berbulan-bulan demi memenuhi kebutuhan Iduladha.
“Kami rela berhemat untuk beli pakan. Tapi kini, sapi-sapi kami mati sebelum sempat dikurbankan,” ujarnya.
Peternak mendesak pemerintah menyediakan kapal angkut yang cukup dan tepat waktu. Mereka menilai masalah ini bukan hanya soal kerugian ekonomi, tetapi menyangkut harapan hidup keluarga.
“Banyak dari kami punya utang di bank. Kami menggantungkan hidup dari hasil penjualan sapi kurban. Ini soal pendidikan anak-anak kami, kebutuhan rumah tangga, dan keberlangsungan hidup kami,” jelas Furkan.
Setiap tahun, Nusa Tenggara Barat mengirim ribuan sapi ke Jakarta dan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan kurban. Namun, keterbatasan kapal pengangkut selalu menjadi hambatan utama. Parahnya, kondisi ini selalu terjadi setiap tahun.
Hingga berita ini terbit, para peternak masih bertahan di lokasi tanpa kejelasan keberangkatan. Mereka berharap pemerintah segera turun tangan untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
“Buka mata dan hati untuk petani kecil. Kami tidak ingin kaya, kami hanya ingin hidup layak,” tutup Muziburrahman. (*)