Mataram (NTBSatu) – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTB mencatat, dari 11 Kabupaten/Kota di NTB, delapan daerah berstatus siaga darurat.
Di antaranya, Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Tengah. Serta, Kota Mataram dan Provinsi NTB.
Sementara tiga di antaranya berada dalam status tanggap darurat. Hal ini membuat pihak BPBD bersiap untuk kemungkinan terburuk nantinya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD NTB, Samsyiah Samad, S.Hut., M.Si. mengungkapkan, kekeringan ini sudah pihaknya prediksi sejak awal musim kemarau. Katanya, informasi dari BMKG setiap 10 hari sebagai dasar memahami kondisi kekeringan yang terjadi.
“Sejak bulan Juni, kami sudah bersiap, beberapa kabupaten sudah menetapkan status siaga darurat yang kemudian melanjutkan dengan status tanggap darurat pada bulan Agustus,” ujar Cia, sapaan Samsyiah Samad kepada NTBSatu, Rabu, 9 Oktober 2024.
Dengan kondisi tersebut, pemerintah daerah segera berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan mengajukan permohonan bantuan.
Dalam hal ini, BNPB memberikan bantuan sebesar Rp200 juta rupiah per kabupaten untuk menangani dampak kekeringan. Meski terbilang masih belum mencukupi untuk kebutuhan pendistribusian air di daerah-daerah terdampak.
Kendati demikian, Cia mengaku, pihak tetap terus berkolaborasi dengan pihak-pihak lain seperti PDAM, Dinas Sosial, dan instansi terkait untuk melakukan dropping air ke daerah yang membutuhkan. Termasuk, kerja sama dengan pihak swasta seperti Pertamina dan PLN juga menjadi bagian penting dalam upaya penanggulangan ini.
“Selain dana, bantuan berupa tandon air sebanyak 20 unit dan pompa air sebanyak 15 set juga tak luput dari perhatian BNPB. Hal ini menunjukkan keseriusan dari pihak BNPB maupun BPBD dalam menghadapi bencana kekeringan di NTB saat ini,” ungkap Cia.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana
Salah satu tantangan utama dalam penanganan kekeringan adalah keterbatasan sarana dan prasarana pendistribusian air. Oleh karena itu, BPBD NTB bekerja sama dengan Badan Wilayah Sungai (BWS) berusaha untuk membuka saluran irigasi. Harapannya, dapat membantu suplai air ke daerah-daerah yang paling terdampak.
Selain itu, dampak kekeringan juga meningkatkan risiko kebakaran hutan, terutama di wilayah Sumbawa.
“Kondisi kekeringan yang parah juga dapat memicu kebakaran hutan. Ini menjadi perhatian khusus kami, terutama di daerah yang memiliki vegetasi kering seperti Sumbawa,” jelasnya.
Untuk memperkuat koordinasi dan merencanakan langkah-langkah penanganan yang lebih efektif, BPBD NTB mengumpulkan sepuluh kabupaten/kota dalam lokakarya. Pada kegiatan itu fokus pada identifikasi kebutuhan penanganan jangka pendek dan panjang.
“Upaya jangka pendek kami saat ini adalah dropping air. Tapi untuk jangka panjang, kami terus berusaha mengidentifikasi kebutuhan sarana-prasarana yang lebih berkelanjutan,” ujarnya.
Perlu Kolaborasi
Di tengah tantangan yang ada, keterlibatan berbagai pihak menjadi salah satu faktor kunci dalam penanganan kekeringan ini. Masyarakat juga turut berperan aktif dalam membantu distribusi air. Sementara desa-desa terdampak terus berkoordinasi dengan pemerintah dan BPBD untuk mengurangi dampak yang dirasakan.
“Kita tetap mengajak semua pihak berkolaborasi, mulai dari Dinas Sosial, masyarakat dan pemerintah desa bahkan sampai pihak- pihak swasta seperti perusahaan dan bank. Karena mereka kan perlu untuk kebutuhan CSR (Coorporate Social Responsibility) masing- masing,” pungkasnya. (*)
Berita ini ditulis oleh Moh. Khazani Darunnafis, peserta Magang Jurnalistik Unram di NTBSatu.