Mataram (NTBSatu) – Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah atau PWNA NTB menggelar diskusi publik, bertemakan “Kepemimpinan Perempuan: Tinjauan dari Perspektif Australia-Indonesia”. Kegiatan tersebut berlangsung di Kafe Meathyme, Pagesangan, Kota Mataram, Minggu, 25 Agustus 2024.
Kegiatan diskusi ini mengundang Renee Davidson yang merupakan seorang jurnalis media di Australia sebagai pembicara tunggal. Ia juga aktivis gender internasional yang pro Palestina.
Selain itu, Renee menjadi Koordinator Program Australia Award in Indonesia (AAI) pada bidang perempuan, gender, dan anak di Australia.
Adapun, peserta kegiatan diskusi publik yakni aktivis perempuan yang tergabung dalam Angkatan Muda Muhammadiyah NTB.
Ketua PWNA NTB, Miftahul Jannah menjelaskan, diskusi ini penting untuk memperkaya perspektif perempuan terkait isu gender.
Dalam pembahasannya, ia juga menyampaikan, kalau diskiriminasi bias gender berasal dari pola pendidikan dan asuh di rumah. Sehingga, terpatri dan ternormalisasi dalam masyarakat.
“Akibatnya, kebanyakan orang melihat perilaku diskriminasi berbasis gender bukanlah pelanggaran. Malah dilihat sebagai suatu keniscayaan,” jelas Miftahul Jannah.
Ia melihat, perubahan perspektif itu tidak dapat terjadi seperti membalikkan telapak tangan. Setidaknya, butuh mendidik dua generasi untuk melihat adanya perubahan.
“Oleh karena itu, celah paling mungkin yang dapat dimasuki yaitu melalui jalur pendidikan. Sehingga, kegiatan diskusi terbuka seperti ini perlu dimasifkan. Agar membuka cakrawala para anggota tentang isu ini dari sudut pandang negara dan kultur yang berbeda,” tambah Miftahul Jannah.
Dorong Perempuan Terlibat di Pemerintahan dan Parlemen
Sementara itu, Renee Davidson menyampaikan, perlu perempuan maju di kancah kepemimpinan dan parlemen. Dengan tujuan, untuk menjamin pengawalan terhadap pembuatan kebijakan, sehingga terbentuknya perempuan yang tangguh dan berdaya terjamin.
“Keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan sangat penting. Di antaranya mengawal terbentuknya kebijakan yang pro terhadap kepentingan kesejahteraan perempuna,” ujarnya.
Ia mencontohkan, seperti tahun 2010, di Autsralia terdapat menteri perempuan pertama yang beranama Julia Eileen. Saat kepemimpinannya, banyak tercipta kebijakan pro perempuan. Seperti, kebijakan hukuman berat terhadap pelaku pelecehan seksual, penurunan biaya penitipan anak, perpanjangan cuti melahirkan, dan lainnya.
Renee juga mengatakan, sebelumnya isu gender di Australia merupakan pembahasan yang krusial. Penyebabnya karena terjadinya diskriminasi di berbagai sektor.
“Namun, seiring masifnya gerakan berbagai aktivs dan NGO perempuan, serta Reformasi dari pendatang Muslim. Isu ini mendapat banyak perhatian sehingga lahirnya berbagai kebijakan yang pro gender,” katanya.
Peserta pun sangat antusias selama kegiatan berlangsung. Pertanyaan yang banyak mereka lontarkan terkait bagaimana pemerintah Australia menghadapi isu kesetaraan gender. Serta, pelaksnaannya di ruang publik.
Peserta juga menyampaikan, mereka banyak mendapat insight baru terkait bagaimana masyarakat Australia selama ini berjuang keras dalam menyuarakan isu-isu tersebut. (*)