Mataram (NTB Satu) – Rumah Sakit Jiwa-Mutiara Sukma (RSJ-MS) NTB menjadi salah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang turut memanfaatkan Dana Bagi Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) tahun anggaran 2023. Dalam memanfaatkan Dana Bagi Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) tahun anggaran 2023, RSJ-MS NTB lebih mengedepankan untuk membantu masyarakat miskin dan marjinal.
Direktur RSJ-MS NTB, dr. Wiwin Nurhasida mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk memanfaatkan DBH-CHT tahun anggaran 2023 dengan sebaik-baiknya sehingga tepat sasaran. Sebab, menurut dr. Wiwin, masyarakat miskin dan marjinal kerap memiliki keterbatasan akses, terutama soal layanan kesehatan jiwa.
“Kami sangat berkomitmen untuk menuntaskan permasalahan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang ada di NTB. Kami harap DBH-CHT tahun anggaran 2023 dapat membantu untuk mewujudkan cita-cita tersebut,” ungkap dr. Wiwin, Kamis, 14 September 2023.
Hingga kini, RSJ-MS NTB berkolaborasi untuk memunculkan awareness serta mengurusi ODGJ yang terlantar di NTB. Sehingga, RSJ-MS NTB sangat membuka diri untuk berkolaborasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain, terutama soal awareness mengenai masalah gangguan kejiwaan.
“Kami mengharapkan agar bantuan tersebut dapat benar-benar membantu dan menyasar masyarakat secara langsung. Sehingga, masyarakat dapat langsung merasakan kebermanfaatan dari bantuan tersebut,” tandas dr. Wiwin.
Mengenal Cukai dan Ketentuannya
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Kemudian, ada beberapa kriteria sehingga barang-barang tertentu dapat dikenakan cukai, yaitu konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Untuk diketahui, hasil tembakau merupakan barang yang dikenai cukai bertarif paling tinggi. Berikut ketentuannya:
Berita Terkini:
- Pjs Bupati Sumbawa Apresiasi Sekolah Lansia di Labuhan Ijuk
- Kemajuan UMKM Jadi Isu Utama Haji Mo saat Sapa Masyarakat Karang Gudang
- Doktor Najam Komitmen Perbaiki Kantor Desa dan Pustu Labuhan Ijuk
- Generasi Muda Dominasi Investor Pasar Modal Indonesia
A. Untuk yang dibuat di Indonesia:
- 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual pabrik.
- 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
B. Untuk yang diimpor:
- 275% (dua ratus tujuh puluh lima persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk
- 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Tarif cukai dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Sebagaimana definisi dan kriteria barang kena cukai, tarif cukai juga diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Larangan dan Sanksi
Sebagai informasi, salah satu pelanggaran terhadap cukai adalah peredaran rokok ilegal. Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 57 dan pasal 58 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Dalam Pasal 57, “Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dalam pasal 58, “Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Pemanfataan Hasil Cukai
Kepala Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Mataram, Adi Cahyanto mengatakan, cukai adalah instrumen penerimaan negara. Selain pengendalian, cukai dapat berdampak pada penerimaan negara. Karena, terdapat pungutan yang masuk ke negara melalui cukai.
“Jadi, cukai bermanfaat untuk mengawasi peredaran. Apabila tidak terdapat pita cukai dalam bungkus rokok, kami akan melakukan penindakan,” beber Adi.
Sebagai informasi, salah satu pemanfaatan cukai berupa DBH-CHT yang dialokasikan setiap tahun di berbagai daerah, termasuk NTB.
Menurut Kepala Bappeda NTB, Dr. H. Iswandi, NTB memperoleh DBH-CHT lantaran menjadi salah satu daerah yang paling produktif memproduksi tembakau dan menghasilkan cukai.
“Pemerintah provinsi serta pemerintah kota dan kabupaten harus bersinergi agar pemanfaatan DBH-CHT dapat tepat sasaran,” pungkas Iswandi. (GSR)