ADVERTORIAL

Plan Indonesia Ajak Pemkab Lombok Barat Gotong Royong Cegah Perkawinan Anak

Lombok Barat (NTB Satu) –Tindak kekerasan terhadap anak kerap terjadi, termasuk perkawinan anak yang saat ini menjadi fokus Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), angka perkawinan anak tahun 2019 tercatat sebanyak 332 kasus.

Sementara itu di Tahun 2020 terdapat 805 kasus, tahun 2021 terdapat 128 kasus. Angka kekerasan juga naik drastis di tahun 2022 menjadi 541 kasus, hal ini terjadi karena dispensasi nikah.

Tingginya kasus kekerasan ditengarai sebagai salah satu faktor terjadinya putus sekolah bagi anak dan remaja. Untuk itu, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Pemerintah Provinsi NTB, melakukan Dialog Antargenerasi: Gotong Royong Melindungi Masa Depan Anak, Katakan #TidakKawinAnak di Aula Kantor Bupati Lombok Barat, Rabu 17 Mei 2023.

Kegiatan ini diharapkan dapat memotivasi berbagai generasi untuk saling mendukung dalam mencegah kekerasan dan perkawinan anak. Terutama, bagi remaja dan kaum muda yang masih bersekolah.

Gubernur NTB, Zulkieflimansyah, diwakilkan oleh Fathurrahman, selaku Asisten satu Bidang Pemerintahan dan kesra, dalam sambutannya menjelaskan pentingnya menciptakan kolaborasi lebih terintegrasi antara Organisasi Perangkat Daerah (OPD), satuan pendidikan, dan kaum muda dalam kampanye hapus kekerasan dan perkawinan anak.

“Praktik baik yang telah dan sedang dilakukan oleh Plan Indonesia akan menjadi refleksi bagi pemerintah dalam pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Lombok Barat. Upaya pencegahan ini tidak hanya diterapkan dari regulasi saja, tetapi juga oleh OPD, masyarakat, dan warga sekolah. Masa depan anak juga masa depan kita juga,” ujar Fathur

Dalam Dialog yang digelar, Pemkab Lombok Barat dan Plan Indonesia juga membahas tentang praktik perkawinan anak yang tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Perkawinan anak menyebabkan berbagai masalah seperti, risiko putus sekolah, ketidaksiapan secara fisik dan psikis dalam mengurus “rumah tangga”, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, serta masa depan yang gagal, dan masih banyak lag masalah lainnya.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi NTB mencatat, pada tahun 2021, sebanyak 2.313 anak SMA/SMK putus sekolah. Sebagian besar alasan yang diungkapkan adalah karena menikah.

Ketua Pokja 1 TP-PKK Provinsi NTB, Dini Haryati sebagai perwakilan Ketua TP-PKK NTB, Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah, mendorong orang tua dan guru untuk memberikan edukasi kepada anak dan kaum muda untuk mencegah perkawinan anak. Menurutnya, edukasi ini juga penting didapat dari lingkungan terdekat anak.

“Pendampingan yang dilakukan oleh TP-PKK juga bisa diaplikasikan oleh orang tua dan guru, yaitu dengan mendorong aspirasi remaja/kaum muda dalam pencegahan, pengurangan, dan penghapusan perkawinan anak serta kehamilan remaja yang termasuk kekerasan di sekolah maupun di masyarakat,” kata Dini.

Anjuran ini juga didukung oleh temuan di lapangan. Berdasarkan survei baseline tahun 2022 yang dilakukan program Plan Indonesia, tentang Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak (Gema Cita), ditemukan bahwa 78 persen remaja menyatakan, mereka mendapatkan edukasi terkait Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di sekolah. mereka menganggap sekolah merupakan tempat strategis dalam memberikan edukasi tentang HKSR karena mudah diakses oleh murid.

Manajer Program Gema Cita, Marzalena Zaini, menekankan, upaya membangun partisipasi sangat penting bagi remaja dan kaum muda. dengan melibatkan mereka dalam forum strategis. Misal, dengan menjadi anggota Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), tim Sekolah Ramah Anak (SRA), Forum Anak Desa, dan pendidik sebaya.

“PATBM dan SRA merupakan mekanisme perlindungan anak di desa dan sekolah yang menjadi garda terdepan dalam pencegahan, pengurangan, dan penghapusan kekerasan terhadap anak, termasuk perkawinan anak dan kehamilan remaja, serta Pendekatan pendidik sebaya juga menjadi salah satu solusi edukasi yang efektif untuk anak dan kaum muda,” ujar Lena.

Hal senada disampaikan Romi (17 tahun), pendidik sebaya yang berpartisipasi dalam program Gema Cita. “Dukungan dari orang tua, guru, dan lingkungan sekitar sangat penting dalam menciptakan ruang yang aman bagi kami (anak) di rumah dan sekolah. Sebab, kami patut mendapatkan hak pendidikannya secara tuntas,” tandasnya. (SAT*)


Lihat juga:

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button