Mataram (NTB Satu) – Kelompok musik asal Pulau Lombok, The Dare kembali tur ke 12 titik lokasi di Pulau Jawa setelah jeda selama dua tahun. Tur tersebut bertajuk Javakensi. Tur Javakensi merupakan upaya menepis kabar miring bahwa The Dare telah bubar.
Penabuh drum The Dare, Desita Qudratul Aulia mengatakan, memilih tur ke luar Pulau Lombok lantaran pendengar loyal The Dare lebih banyak berasal dari Pulau Jawa. Berdasarkan data dari platform digital Spotify, pendengar bulanan The Dare mencapai 5.690 pendengar. Selain itu, antusiasme pendengar The Dare di Pulau Jawa cukup membahagiakannya.
“Sempat beredar kabar bahwa The Dare bubar, dikarenakan dua personil menikah dan salah satunya sudah punya anak. Kami ingin mematahkan persepsi bahwa The Dare bubar melalui tur Javakensi,” ungkap Desita, ditemui NTB Satu di Mataram, Selasa, 31 Juni 2022.
Desita menceritakan, memang terdapat pendengar The Dare di Pulau Lombok. Namun, persentase pendengar The Dare di Pulau Lombok dengan Pulau Jawa cukup timpang. Padahal, The Dare lahir di Pulau Lombok.
“Pada tur tahun 2018 dan 2019, ketika kami konser, pendengar di Pulau Jawa menyanyikan lagu The Dare secara berbarengan. Walaupun tur ke Jawa, tapi kami tidak memusatkan diri di satu lokasi,” cerita Desita.
The Dare akan menggelar konser di 11 titik lokasi di Pulau Jawa, plus satu lokasi rahasia. The Dare bakal memulai perjalanan dari Tangerang, dilanjutkan ke Bekasi, Bogor, Jakarta, Bandung, Magelang, Semarang, Yogyakarta, Sukoharjo, dan Surabaya. Selain itu, The Dare bakal menggelar konser-konser di tempat yang tidak terduga. Tur Javakensi diperkirakan bakal berlangsung selama satu bulan.
“Setelah tur, pada bulan Juli nanti kami akan rilis video klip. Akan ada screening bersama video klip dan video dokumenter The Dare selama tur. Selain itu, nanti kami akan menceritakan serba-serbi tur Javakensi,” terang alumnus program studi Hubungan Internasional, Universitas Mataram ini.
Desita menceritakan, The Dare terbentuk pada Februari 2018 di Pulau Lombok. The Dare terdiri dari Riri pada Gitar dan Vokal, Yollan pada Gitar, Meiga pada Bass, dan Desita pada drum. Awalnya, The Dare hanyalah proyek senang-senang belaka. Lalu, pada April 2018 The Dare merilis mini album bertajuk Inthrovvvert. Pada awalnya, perjalanan The Dare cukup berat. Pasalnya, Pulau Lombok belum memiliki kelompok musik yang seluruhnya diisi oleh perempuan.
“Pertama kali manggung pada perhelatan Record Store Day Lombok pada 2018. Mungkin karena sudah menjadi saudara satu sama lain dan perjalanan The Dare yang seru, itu membuat kami terus eksis,” tutur Desita.
Desita tidak pernah menyangka bahwa The Dare bakal tetap eksis. Pasalnya, dahulu The Dare dibentuk dengan niatan untuk bersenang-senang. Pasca rilis mini album Inthrovvvert, The Dare mengubah orientasi. Awalnya hanya sekadar projek senang-senang belaka bertransformasi menjadi projek serius.
“Lalu pada tahun 2018, bersama Sundancer, kami buat tur yang bertajuk Gelombang Cinta. Itu menjadi tur pertama kali ke Pulau Jawa,” ujar Pemenang II Duta Bahasa NTB ini.
Sejak awal rilis mini album Inthrovvvert hingga mini album Woman Who Sailed The World, The Dare sepakat mengusung musik bergenre Indie Pop.
“Mungkin interpretasi orang-orang akan cenderung berbeda ketika dengerin The Dare. Tapi, itu adalah hal yang lumrah,” papar Desita.
The Dare berupaya untuk terus menghadirkan album lagu berbentuk fisik. Walaupun peminat album lagu berbentuk fisik sangat kurang. Bahkan, Desita menyebut kelompok musik yang besar dan berproses di Jakarta turut merasakan dampak kurangnya peminat album lagu berbentuk fisik.
“Sebagian besar para pegiat musik di Lombok cenderung pesimis. Selain itu, sering menganggap bahwa musik mereka tidak memiliki pasar, menyalahkan aneka sumber daya manusia. Buktinya, sekarang The Dare sudah bisa menjual satu keping rilisan fisik dengan harga Rp250 ribu,” kata Desita.
Melalui Desita, The Dare berharap para pegiat musik di Lombok terus berkarya. Diharapkan, karya yang beragam tersebut mendapatkan dukungan dari para apresian. Selain itu, The Dare mengharapkan agar genre musik di Pulau Lombok makin variatif.
“Kalau tidak mau support, jangan menghina, kalau belum bisa bantu beli merchandise cukup bantu disebarluaskan,” pungkas Desita. (GSR)