Mataram (NTB Satu) – Jumlah anak terpapar wasting di NTB menunjukkan angka 5,59 persen dengan rasio 24.053 penderita. Di NTB, Lombok Barat merupakan daerah terpapar wasting paling besar, yakni 5,17 persen dengan rasio 2.837 penderita. Data tersebut berdasarkan Aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (ePPGBM) tahun 2021.
Wasting adalah kondisi ketika berat badan anak menurun, sangat kurang, atau bahkan berada di bawah rentang normal. Anak yang mengalami kondisi ini umumnya memiliki proporsi tubuh yang kurang ideal. Pasalnya, kondisi ini membuat berat badan tidak sepadan atau kurus dibanding tinggi badan untuk anak di usia tertentu.
Kepala Dinas Kesehatan NTB, Lalu Hamzi Fikri mengatakan, penanganan wasting di NTB harus dimulai dari tingkat Posyandu Keluarga. Ia menyatakan telah menyiapkan beberapa strategi.
“Strategi kami itu menemukan kasus, verifikasi, dan intervensi. Selain itu, kami sudah menyebarkan berbagai tim untuk ditempatkan di seluruh puskesmas. Wasting ini cikal bakal stunting. Kami tidak akan membiarkan wasting merajalela,” ungkap Hamzi Fikri, ditemui NTB Satu di Ruang Kerja Wakil Gubernur NTB, Selasa, 26 April 2022.
Menurut keterangan Hamzi Fikri, intervensi bakal dibagi menjadi dua jenis penanganan yaitu spesifik dan sensitif. Apabila wasting berkembang, risiko terpapar stunting makin besar.
“Intervensi spesifik itu meliputi upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung. Penanganan intervensi spesifik pada umumnya dilakukan oleh seluruh sektor penanganan kesehatan,” papar Hamzi Fikri.
“Sedangkan, intervensi sensitif itu meliputi upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung. Ada beberapa bentuk kegiatan intervensi sensitif, yakni penyediaan air bersih, penanggulangan kemiskinan, dan kesetaraan gender. Sasaran intervensi sensitif adalah masyarakat umum. Tetapi, intervensi sensitif ini punya kontribusi besar untuk menekan angka wasting,” terang Hamzi Fikri.
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab wasting. Baik kekurangan gizi makro dan mikro.
“Apabila wasting ditangani lebih awal, itu akan masuk ke gejala kekurangan gizi. Namun, kalau dibiarkan lebih jauh, itu bakal bergerak ke gejala stunting,” kata Hamzi Fikri.
Hamzi Fikri menyarankan, edukasi soal wasting harus dimulai dari tingkat posyandu keluarga. Kedepannya, apabila pengidap wasting berubah menjadi gejala gizi buruk, maka Dinas Kesehatan NTB akan berkolaborasi dengan pihak medis mengenai penanganan intensif.
“Kami berharap masalah gizi bisa tertangani secepat mungkin. Kalaupun nanti ditemukan kasus, penanganannya cenderung mudah. Sebab, sudah dibenahi sejak dini,” tandas Hamzi Fikri. (GSR)