Sulis Sulastri: Menunaikan Janji Ayah, Menjemput Mimpi dengan Ketekunan
Di tengah padatnya tanggung jawab dan hidup yang serba terbatas, Sulis Sulastri belajar bahwa tekun adalah bentuk lain dari doa. Mahasiswi asal Kelurahan Jatiwangi, Kota Bima, ini menyandang gelar sarjana pendidikan dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,98, tertinggi di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) STKIP Taman Siswa Bima. Namun, di balik angka nyaris sempurna itu, tersimpan kisah panjang tentang janji yang ditepati dan mimpi yang diwariskan.
Sulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, buah hati pasangan Bambang Hermanto dan Nur Asiah. Sang ayah, dulu pernah menyimpan cita-cita besar untuk menempuh pendidikan tinggi, tapi takdir berkata lain. Restu keluarga yang tak kunjung datang membuat mimpi itu kandas di tengah jalan. Kini, bertahun-tahun kemudian, Sulis berdiri di panggung wisuda untuk menuntaskan mimpi yang pernah terhenti di generasi sebelumnya.
“Bapak sering bilang, kalau dulu beliau tak bisa kuliah, semoga anaknya bisa sampai ke titik itu. Jadi setiap kali lelah, saya ingat kata-katanya,” tutur Sulis pelan, menunduk dengan senyum haru.
Antara Kuliah, Organisasi, dan Bekerja
Menjalani tiga peran sekaligus—mahasiswi, organisatoris, dan pekerja—membentuk Sulis menjadi pribadi yang tahan uji. Di saat teman-temannya fokus pada skripsi, ia harus membagi waktu antara tanggung jawab akademik dan pekerjaan di Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK) kampus.
“Sering saya datang pagi-pagi untuk urus administrasi, lalu lanjut bimbingan skripsi sore harinya. Kadang malam baru sempat membaca jurnal,” kisahnya.
Tidak jarang, tekanan datang bertubi-tubi: mengatur jadwal magang, menghadapi mahasiswa yang emosional, hingga memastikan pekerjaannya tidak terbengkalai. Tapi dari setiap lelah, ia menemukan keteguhan. “Saya belajar bahwa tanggung jawab bukan soal tugas, tapi tentang ketulusan menjalaninya,” ucapnya lembut.
Dari Keterpaksaan Menjadi Cinta
Sulis awalnya memilih jurusan PGSD bukan karena keinginan pribadi. Ia mengikuti saran orang tua yang melihat prospek kerja sebagai guru lebih jelas. Namun perjalanan kuliah justru membawanya jatuh cinta pada dunia pendidikan.
“Awalnya hanya ingin cepat selesai, tapi lama-lama saya sadar, menjadi guru bukan sekadar profesi, tapi panggilan hati,” katanya.
Melalui kegiatan Kampus Mengajar Angkatan ke-5, Sulis belajar bahwa ilmu sejati tak hanya ada di ruang kelas, tapi di hati-hati kecil anak-anak desa yang menatapnya penuh harap. Pengalaman Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Nggembe, Kecamatan Bolo, menjadi titik balik kehidupannya.
“Itu pengalaman paling berkesan. Di sana saya melihat betapa ilmu bisa benar-benar mengubah kehidupan orang lain,” ungkapnya dengan mata berbinar.
Mencipta Jejak di Luar Akademik
Tak hanya di ruang kuliah, Sulis menorehkan prestasi di bidang lain. Ia pernah menjadi penghafal (tahfidz) Juz 30 Al-Qur’an saat SMA dan tampil dalam Festival Puisi se-Pulau Sumbawa.
Sulis percaya, mahasiswa harus menjadi pribadi yang bermanfaat, sebagaimana hadis yang selalu ia pegang: “Khairunnas anfa’uhum linnas” — sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.
Setelah wisuda, ia ingin mengabdi sebagai guru di sekolah dasar, melanjutkan ke Pendidikan Profesi Guru (PPG), dan kelak menempuh jenjang Magister. Cita-citanya sederhana tapi penuh makna: menjadi guru inovatif yang mampu menanamkan nilai karakter dan semangat belajar sepanjang hayat.
Suara dari Pinggiran
Di sela rasa syukur atas pencapaiannya, Sulis masih menyimpan keprihatinan. Ia melihat banyak lulusan muda di Bima yang kesulitan mencari pekerjaan karena minimnya fasilitas dan kesempatan di daerah.
“Saya berharap pemerintah membuka ruang yang lebih luas untuk kami. Bukan hanya pekerjaan di kota besar, tapi juga program pengabdian dan usaha di desa-desa,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kesadaran ekologis dalam pendidikan, agar generasi muda tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga peduli terhadap lingkungan.
“Pembangunan tidak boleh menyingkirkan alam. Kita harus tumbuh bersama bumi yang kita pijak,” katanya menutup percakapan.
Bagi Sulis, wisuda bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru. Ia telah membuktikan bahwa ketekunan bisa menembus batas, dan cinta bisa tumbuh dari keterpaksaan. Kini, dengan toga di pundak dan mimpi di genggaman, ia melangkah membawa pesan sederhana dari seorang ayah:
“Teruslah belajar, karena ilmu adalah warisan yang tak pernah habis.” (*)



