Film

4 Film dalam Gelaran “Sinema Akar Rumput” Perlihatkan Realitas Sosial di Pulau Lombok

Mataram (NTB Satu) – Ruang Tengah Creative dan Chendoll Image menggelar acara Sinema Akar Rumput, yakni menonton empat film yang disutradarai oleh sineas asal Pulau Lombok, pada Selasa, 5 Juli 2022 di CGV Transmart Mataram. Empat film itu masing-masing berjudul Junaidi, Sepiring Bersama, Pepadu, dan Jamal. Secara umum, empat film yang terputar memotret realitas sosial di NTB, khususnya di Pulau Lombok.

Realitas sosial yang dipotret oleh para sutradara meliputi, para Pekerja Imigran Indonesia (PMI) yang terpaksa bekerja di luar negeri dikarenakan dicekik oleh kemiskinan. Selain itu, para sutradara juga menangkap perihal pendidikan yang tidak dapat diakses oleh rakyat miskin, dan lain-lain.

Film Junaidi berkisah perihal seorang pria yang menjadi PMI dan harus meninggalkan keluarganya. Sedangkan, Sepiring Bersama menceritakan perihal Ibu dan Anak yang hidup berdua setelah kepala keluarga harus pergi meninggalkan rumah.

Sementara Pepadu, menggambarkan perihal kemiskinan akut yang dialami oleh petarung peresean. Film Jamal memotret seorang istri yang mendapati suaminya pulang dalam keadaan meninggal selepas menjadi PMI di Malaysia.

Setelah keempat film terputar, Ruang Tengah Creative dan Chendoll Image membuka kesempatan bagi para penonton untuk bertanya, menyampaikan pesan dan kesan, serta menanggapi apapun perihal film yang terputar. Pada sesi ini, banyak sekali penonton yang ingin berdiskusi, bertanya, atau menyampaikan kesan secara langsung kepada para sutradara.

Sutradara film Jamal, Heri Fadli mengatakan, masyarakat Lombok terlalu banyak tertawa hingga luput melihat dan memberi perhatian terhadap kesedihan. Hal tersebut, turut menjadi motif pembuatan film Jamal.

“Jujur saja, saya orang yang sangat teliti. Jadi, sebelum buat film, saya mengumpulkan data terlebih dahulu,” ungkap Heri, ditemui NTB Satu di CGV Transmart Mataram, Selasa, 5 Juli 2022.

Keempat film yang terputar, rata-rata masuk ke dalam kategori Film House yang kerap diputar di berbagai festival film. Oleh karena itu, pendapatan film house tidak akan sebanyak yang diraih film-film konvensional pada umumnya.

“Saya tidak membidik pasar secara umum. Saya hanya ingin penonton film di daerah, menonton film yang diproduksi di tanah kelahiran mereka,” ucap Heri.

Heri membawa film Jamal ke berbagai festival dengan harapan penonton dapat memberikan respons dengan ikhlas.

“Selain karena banyak PMI, kami memilih Lombok Selatan sebagai lokasi syuting lantaran cukup eksotis. Semoga hal tersebut dapat dijadikan media promosi pariwisata,” ujar Heri.

Sementara itu, pengunjung acara Sinema Akar Rumput, Armani Bilardi mengatakan, ia mengapresiasi gelaran Sinema Akar Rumput. Ia berkesempatan menyaksikan film-film lokal terputar di bioskop. Baginya, hal tersebut sangat menakjubkan.

“Selain meninggikan persaingan, pemutaran film lokal di bioskop menandakan bahwa para sineas lokal mampu memperlihatkan kultur dari realitas sosial yang terjadi di NTB, khususnya di Pulau Lombok,” ungkap Bilardi, ditemui NTB Satu, Selasa, 5 Juli 2022.

Bilardi terkesan dengan cara para sineas menangkap realitas sosial yang terjadi di Pulau Lombok. Seperti yang diketahui, NTB kini tengah banjir perhelatan internasional. Hal tersebut justru membuat masyarakat NTB luput memperhatikan kesedihan-kesedihan yang terjadi dan terlalu banyak berpesta pora.

“Empat film yang terputar sukses menampakkan potret-potret kesedihan yang terjadi di NTB. Bagi saya, empat film yang terputar merupakan representasi dari realitas sosial yang terjadi di NTB,” papar Bilardi.

Bilardi berharap agar empat film yang telah terputar dapat membantu masyarakat NTB untuk melihat lebih dekat mengenai berbagai permasalahan yang terjadi.

“Secara kualitas produksi, empat film yang terputar cukup mumpuni. Sebab, orang-orang yang terlibat dalam empat produksi film ini bukanlah orang-orang baru,” terang Bilardi.

Senada dengan Bilardi, pengunjung lainnya, Rizky Gita mengatakan, secara garis besar, empat film itu memotret kemiskinan yang menjadi masalah laten di NTB.

“Sebenarnya, empat film yang telah terputar rata-rata memotret realitas sosial Pulau Lombok, seperti konflik sosial dalam keluarga, kemiskinan, permasalahan pendidikan, dan masih banyak lagi,” ujar Rizky.

Menurut Rizky, cukup penting menampakkan realitas sosial Pulau Lombok dalam keempat film itu. Film bisa menjadi alat propaganda untuk memberitahu kepada pemerintah dan berbagai entitas terkait bahwa realitas sosial di Pulau Lombok tidak selalu baik-baik saja.

“Pada satu sisi, saya merasa cukup miris setelah menonton empat film yang telah memotret realitas sosial di Pulau Lombok. Namun, pada sisi lainnya saya cukup bahagia. Pasalnya, sineas muda Lombok mampu bergerak selangkah lebih maju,” pungkas Rizky. (GSR)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IKLAN
Back to top button