Menyudahi wacana dan gerakan politik untuk menyukseskan penundaan pemilu sama halnya mengawal reformasi sekaligus menjaga NKRI. Jika upaya ini gagal, rakyat yang akan mengoreksi dengan caranya sendiri
Oleh : Iftitah Suryanagara
Pesan Jenderal TNI (Purn) H Wiranto di harian Kompas (8/4/2022) terasa sangat kuat. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1998-1999 itu menyatakan bahwa penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tidak akan mungkin terjadi.
Kemunculan Jenderal Wiranto mengingatkan kita pada masa awal reformasi. Bersama Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Letnan Jenderal Agus Widjojo, serta para perwira lainnya, Wiranto mengagas reformasi di tubuh TNI.
Di kalangan militer, sejarah reformasi menyisakan pelajaran berharga. Kala itu, Jenderal Wiranto digoda banyak pihak untuk mengambil alih kekuasaan. Termasuk desakan untuk mengambil kursi wakil presiden yang sempat kosong tahun 1998-1999. Beruntung, Jenderal Wiranto dikelilingi para perwira reformis yang sepemikiran dengannya.
Dengan demikian, meski operasi politik itu memungkinkan untuk dijalankan, dengan tegas Jenderal Wiranto menolaknya. Ketetapan hati para pemimpin TNI lebih memilih mendengarkan suara rakyat. Tidak ada upaya TNI untuk memaksakan kepentingan pribadi, apalagi mengambil alih kekuasaan dengan cara-cara yang inkonstitusional.
Pengalaman serupa dialami Presiden SBY. Beberapa tokoh nasional pernah memberi saran kepada Presiden SBY (2012) untuk kembali ke UUD 1945 yang ”murni”, dengan berbagai alasannya. Presiden SBY menolak saran itu. Sebab, dalam UUD 1945 yang belum diamandemen, tidak ada pembatasan masa jabatan presiden.
Kini, mencermati dinamika politik yang berkembang, publik tetap perlu waspada. Karena, melemahnya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden lebih disebabkan oleh tidak terkonsolidasinya dukungan politik secara efektif di level parlemen.
Publik sadar, adanya pihak yang berani secara terbuka menyuarakan dukungannya terhadap isu tunda pemilu merupakan sebuah indikasi. Besar kemungkinan, ada kekuatan tertentu, yang telah mengorkestrasi operasi politik ini secara terstruktur dan sistematis. Upaya tunda pemilu juga mengindikasikan sebuah pintu masuk untuk melanggengkan kekuasaan.
Konsekuensi pelanggengan kekuasaan
Setiap upaya pelanggengan kekuasaan selalu menghadirkan konsekuensi. Presiden pertama kita yang ditetapkan sebagai presiden seumur hidup di tahun 1963 harus berakhir tragis pada akhir masa jabatannya.
Begitu juga presiden kedua kita, yang dipilih secara ”konstitusional” setiap lima tahun sekali. Awalnya, Presiden Soeharto berhasil mengonsolidasikan kekuasaan yang mencengkeram dari tingkat pusat hingga pedesaan. ABRI dijadikan instrumen utama untuk mempertahankan kekuasaan.
Akibatnya, terbentuklah arsitektur politik yang memfasilitasi hadirnya kekuasaan korup yang tanpa batas. Tidak berjalannya transparansi dan akuntabilitas membuat struktur ekonomi negara dan kekuasaan politik begitu rapuh.
Alhasil, ketika efek psikologis dari krisis moneter Asia 1997 menerpa pasar Indonesia, struktur ekonomi langsung tumbang. Kemarahan rakyat terhadap penguasa begitu cepat meledak, hingga melahirkan krisis multidimensional. ABRI terkena dampaknya. Citranya hancur.
Jajak pendapat Kompas (1999) menunjukkan kepercayaan rakyat terhadap ABRI atau kini TNI hanya sebesar 24,6 persen. Ini angka terburuk dalam sejarah TNI. Rakyat marah. Kehormatan para prajurit pun menjadi taruhannya. Kebanggaan sebagai penjaga NKRI seolah sirna.
Generasi muda yang baru saja masuk TNI, yang belum tahu apa itu kekuasaan, juga terkena dampaknya. Mereka kadang terpaksa harus melepas seragam identitas kebanggaannya. Jika tidak, para prajurit ini kena razia dan amuk massa. Tidak sedikit korban TNI yang terluka akibat dihakimi massa.
Reformasi itu tidak hanya diraih dengan keringat, darah, dan air mata, tetapi juga nyawa sebagai taruhannya.
Di sisi lain, beberapa aktivis mahasiswa gugur diterjang timah panas aparat keamanan. Puluhan aktivis lainnya hilang, hingga kini tak diketahui rimbanya. Instabilitas keamanan nasional saat itu juga memakan korban para kiai Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Mereka dikabarkan menjadi korban ”Operasi Ninja”. Tidak diketahui siapa otak intelektualnya. Artinya, reformasi itu tidak hanya diraih dengan keringat, darah, dan air mata, tetapi juga nyawa sebagai taruhannya. Biaya sosial, ekonomi, keamanan, dan politiknya terlalu mahal.
Komitmen mengawal reformasi
Di awal reformasi, kepercayaan para mahasiswa terhadap TNI muda pun sangat rendah. Ketika itu, mereka sangsi para TNI muda mengerti dan memahami hakikat reformasi. Mereka bahkan menyangka, reformasi TNI hanya lip service para jenderal.
Karena itu, Panglima TNI Wiranto menugaskan dua taruna dari Akademi Militer dan Akademi Angkatan Laut. Mereka hadir dalam berbagai acara dialog nasional mahasiswa di kampus-kampus, sebagai perwakilan generasi muda TNI.
Di hadapan para mahasiswa, mereka ikut memberikan jaminan komitmen untuk mengawal reformasi. Bagi TNI muda, mengawal reformasi sama halnya dengan menjaga NKRI. TNI muda memahami betul konsekuensi ”biaya mahal” yang harus ditanggung rakyat dan TNI apabila terjadi kembali pelanggengan kekuasaan. Apa pun alasannya.
Upaya memperpanjang masa jabatan presiden tanpa pemilu tidak hanya menghina akal sehat, tetapi juga dibaca sebagai usaha pelanggengan kekuasaan yang melanggar hukum.
Untuk itu, wajar jika banyak pihak bereaksi dengan isu penundaan pemilu. Upaya memperpanjang masa jabatan presiden tanpa pemilu tidak hanya menghina akal sehat, tetapi juga dibaca sebagai usaha pelanggengan kekuasaan yang melanggar hukum.
Jika pihak-pihak ini masih terus melanjutkan operasi politiknya, kekuatan politik reformis senior bukan tidak mungkin akan turun gunung. Tokoh reformis, seperti Wiranto, Megawati, SBY, Surya Paloh, dan lainnya, diperkirakan akan berhadapan dengan elemen kekuatan anti-reformasi ini.
Semua ini adalah ujian bagi kaum reformis, baik yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan, untuk menjaga Presiden Joko Widodo, dari manuver orang-orang di lingkaran kekuasaan yang anti-reformasi tersebut.
Sejatinya, kunci dari berlanjut atau berhentinya wacana ini terletak pada ketetapan hati sang pemimpin. Secara alamiah, atmosfer kekuasaan memang selalu menggoda ”iman” seorang pemimpin. Iman dalam arti, satunya hati, kata, dan perbuatan. Godaan itu bisa datang dari dirinya, bisa juga melalui orang-orang, yang selama ini mempengaruhi keputusan pemimpin.
Ke depan, tidak hanya menyudahi wacana ini, tetapi juga mari kita sudahi gerakan dan operasi politik oleh siapa pun, yang menjurus pada upaya penyuksesan wacana itu. Menyudahi wacana dan gerakan politik ini sama halnya mengawal reformasi sekaligus menjaga NKRI.
Kita akan melihat bagaimana sejarah menemukan takdir-Nya. Jika kita gagal mencegah hasrat pelanggengan kekuasaan ini, sejarah mengajarkan, rakyat yang akan mengoreksi dengan caranya sendiri.
Iftitah Suryanagara, CEO Romeo Strategic Consulting & Wakil Komandan Resimen Korps Taruna Akademi Militer 1998-1999. (*)