Daerah NTB

Walhi Sesalkan Pecaplokan Sumber Nafkah Rakyat di Laut NTB

Mataram (NTB Satu) – Merespons rencana zonasi kawasan antarwilayah laut yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DJPRL), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersikap keras.

Sebab dampaknya, marak praktik pencaplokan ruang laut di berbagai daerah, salah satunya di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, Provinsi NTB.

Dalam keterangan tertulis Direktur Eksekutif Daerah (DED) Walhi NTB, Amri Nuryadi yang diterima NTB Satu Rabu, 9 Maret 2022, sebenarnya Provinsi NTB telah memiliki Perda nomor 12 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tahun 2017-2037.

Akan tetapi realisasinya masih jauh dari harapan untuk memberikan ruang sebesar-besarnya bagi rakyat dalam pengelolaan ruang tersebut.

“Sebaliknya, justru yang terjadi adalah maraknya investasi yang mengambil ruang hidup dan ruang kelola rakyat,” kata Amri.

IKLAN

Ini adalah respons Walhi NTB atas penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) penyusunan rencana Zonasi Kawasan Laut yang digelar di Hotel Santika Mataram, Kamis 10 Maret 2022.

Penguasaan lahan, ruang hidup dan ruang kelola rakyat untuk berbagai proyek strategis nasional di pulau Lombok, selain untuk wilayah hutan, perkebunan, dan pertanian, terutama untuk pariwisata, secara keseluruhan di pulau Lombok mencapai 16.279,30 Ha yang sebagian besarnya berada di kawasan pesisir.  

Diantaranya, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Tengah. Secara khusus di Kabupaten Lombok Tengah, hampir seluruh pesisir laut pantai selatan adalah Wilayah Pariwisata.

IKLAN

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK Mandalika) sendiri, menguasai lahan hingga 1.250 ha, mencakup sekitar 18,14 Km bibir pantai.

“Dan ini menghilangkan ratusan hektar rawa dan hutan mangrove, serta hilangnya akses rakyat atas delapan teluk menjadi wilayah privat yang sebelumnya adalah wilayah kelola rakyat, baik untuk aktivitas nelayan dan budidaya rumput laut,” kata Amri. 

“Padahal sebelumnya adalah wilayah kelola rakyat untuk aktivitas nelayan dan budidaya,” sambung dia.

Contoh lain, hilangnya ruang hidup dan ruang kelola rakyat, serta ancaman perusakan lingkungan hidup, terjadi di tiga gili di kabupaten Lombok Utara, yaitu Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. 

PT. Tiara Cipta Nirwana (PT. TCN) adalah perusahaan pemegang kontrak kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) tentang investasi pengelolaan air bersih di tiga gili, sejak tahun 2017, dengan pengolahan menggunakan teknologi Sea Water Reserve Osmosis (SWRO) dengan sistem penyulingan air laut. 

“Tempat tersebut sebelumnya merupakan tempat penangkaran penyu, dan merupakan spot menyelam (diving) dan wilayah tangkap nelayan.  Pembangunan fasilitas saat ini dan operasinya kedepan berpotensi meninggalkan dampak perusakan yang serius atas lingkungan dan air bersih akibat intrusi air laut,” jelas Amri.

Contoh lainnya adalah perusakan wilayah konservasi mangrove untuk dijadikan hotel oleh PT. BASK di Gili Meno, Lombok Utara. Kasus yang paling hangat adalah, unvestasi pembangunan tambak udang di
Labuan Lombok yang dibangun diatas lahan seluas 30 hektar.

“Pembangunan tersebut ditolak oleh warga setempat karena mencemari perairan pantai, yang wilayahnya telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur sebagai salah satu desa wisata,” ujarnya.

Tidak hanya di Pulau Lombok, Pulau Sumbawapun sudah lama digerogoti oleh proyek ekstraktif yang mengubah fungsi lahan yang sebelumnya pemukiman ataupun hutan, menjadi lokasi tambang.

Misalnya, PT. AMNT di Kabupaten Sumbawa Barat, yang merupakan Tambang Emas yang sudah beroperasi puluhan tahun di atas lahan ribuan hektar. Adapula PT. Sumbawa Timur Mining (PT. STM) di Hu’u Kabupaten Dompu, yang menjalankan operasinya diatas kawasan hutan yang juga merupakan wilayah pesisir.

Karena itu, Walhi meminta Pemerintah Daerah NTB untuk menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk dilibatkan sejak penyusunan Perda Zonasi.

Pemerintah juga dituntut untuk memprioritaskan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang akan tenggelam akibat krisis iklim dengan cara mengevaluasi dan mencabut berbagai proyek ekstraktif dan eksploitatif yang membebaninya. (RZK)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button