Opini

Menelisik Potensi Kerugian Negara pada KPBU Air Bersih Gili Matra

Oleh: Farid Tolomundu, Pengamat Kebijakan Publik

Dalam setiap proyek yang menyangkut layanan publik, pertanyaan mengenai potensi kerugian negara adalah suatu keniscayaan. pertanyaan semacam itu mesti dijawab secara transparan dan lugas. Haram hukumnya menjawabnya dengan asumsi saja apalagi dimulai dengan buruk sangka. Menjawabnya harus bertumpu pada definisi kerugian negara yang digunakan auditor dan penegak hukum—yakni kerugian yang nyata, terukur, dan timbul pada keuangan negara atau daerah atau badan usaha milik pemerintah.

Jika kita menelisik pertanyaan perihal kerugian negara pada proyek KPBU air bersih di Gili Matra, justru yang segera tampak nyata adalah proyek tersebut menampilkan suatu rancangan yang sejak dini berniat memitigasi potensi kerugian.

Pondasi utama yang membentengi proyek ini dari kerugian negara adalah skema investasinya. Sebagai KPBU atas prakarsa swasta (unsolicited), seluruh biaya pembangunan fasilitas—dari studi awal hingga instalasi siap beroperasi—ditanggung oleh pihak swasta (PT TCN). Tidak ada anggaran daerah yang digunakan untuk investasi modal.

Resiko klasik pemicu kerugian pada proyek infrastruktur publik dibiayai uang negara—proyek mangkrak, pembengkakan biaya konstruksi, atau kegagalan teknologi— bebannya berpindah ke swasta. Pemerintah daerah tidak kehilangan uang pada pos yang tidak pernah dikeluarkannya, sementara aset layanan tetap tersedia bagi masyarakat melalui skema layanan air curah.

Struktur kerja sama ini bukan hanya menghindari pengeluaran publik, melainkan juga menciptakan pusat keuntungan baru bagi BUMD dalam hal ini PDAM. Model bisnisnya jelas: PDAM membeli air curah dengan harga grosir dari TCN, kemudian menjualnya kembali ke pelanggan pada harga ritel sesuai regulasi tarif yang berlaku. Selisih positif antara harga beli dan harga jual membentuk pendapatan dan laba operasional PDAM. Dengan cara ini, kerja sama menjadi lini usaha yang memperkuat arus kas dan kapasitas pelayanan PDAM tanpa menuntut modal di muka.

Fakta penting lain yang sering diabaikan adalah bahwa tidak ada uang daerah yang keluar untuk membiayai investasi ini; sebaliknya PDAM justru memperoleh selisih yang dapat dipakai memperluas layanan, meningkatkan kualitas, dan menjaga kesehatan finansial perusahaan daerah.

Dari sisi kewajaran harga, argumen paling substantif justru datang dari pembanding yang telah memiliki bobot hukum. Harga beli air dari TCN—yang menggunakan teknologi legal dan berwawasan lingkungan—terbukti lebih rendah daripada harga yang diterapkan pelaku yang dihukum karena eksploitasi air tanah ilegal. Secara ekonomi, praktik ilegal lazimnya lebih murah karena menghindari biaya perizinan dan pengelolaan lingkungan.

Ketika solusi yang legal dan berkelanjutan justru hadir dengan harga lebih kompetitif, klaim bahwa PDAM membeli air “kemahalan” kehilangan pijakan empirisnya.

Pada konteks Gili Matra, pembanding operasional realistis lainnya—seperti pengangkutan air dengan truk tangki dari daratan atau reverse osmosis skala kecil tanpa pengelolaan lingkungan memadai—umumnya berbiaya total lebih tinggi, beremisi lebih besar, dan tidak andal sebagai skema penyediaan jangka panjang.

IKLAN

Pemerintah daerah juga tidak merencanakan pemasangan pipa dari daratan karena cakupan layanan di daratan sendiri masih terbatas dan sumber air baku darat tidak memadai untuk disalurkan ke pulau-pulau, sehingga jalur solusi lokal berbasis desalinasi menjadi rasional.

Pada level operasional, potensi kerugian dimitigasi melalui mekanisme pembayaran berbasis kinerja. PDAM hanya membayar sesuai volume air yang benar-benar diterima dengan kualitas yang memenuhi standar, yang dibuktikan melalui berita acara serah terima bulanan.

Desain ini mencegah pembayaran atas layanan yang tidak terkirim dan menempatkan risiko ketersediaan pada penyedia. Dinamika arus kas—yang kadang disalahartikan sebagai “tunggakan”—sesungguhnya cerminan siklus bisnis normal di mana pembayaran ke pemasok diselaraskan dengan penerimaan dari pelanggan. Selama barang/jasa diterima sesuai spesifikasi, tidak terdapat elemen kerugian negara; yang ada adalah kewajiban dagang yang timbul dari transaksi yang sah dan buktinya terdokumentasi.

Aspek keterjangkauan sosial juga diantisipasi agar manfaat layanan tidak terkunci oleh kemampuan bayar. Jika pada segmen tertentu harga akhir ritel dikhawatirkan membebani warga berpenghasilan rendah, subsidi silang dapat diterapkan oleh PDAM/pemerintah daerah sesuai kerangka tarif yang berlaku, sehingga pelanggan rentan mendapatkan tarif lebih rendah sementara pelanggan komersial dan sektor pariwisata yang likuid menanggung proporsi lebih besar.

Desain seperti ini menjaga keseimbangan antara keberlanjutan finansial PDAM dan misi pelayanan publik, sekaligus meredam risiko sosial-politik yang sering menjadi sumber distorsi kebijakan dan potensi inefisiensi jangka panjang.

Bila ditinjau dari sudut pandang risiko fiskal daerah, struktur proyek justru mengurangi eksposur pemerintah daerah. Dengan nihilnya belanja modal dari APBD, tidak ada akumulasi aset konstruksi yang harus disusutkan di neraca daerah; tidak ada kewajiban pembayaran ketersediaan layanan berbasis take-or-pay; dan tidak ada kebutuhan penjaminan fiskal daerah yang membuka potensi liabilitas kontinjensi. Di saat yang sama, kinerja layanan air bersih berkontribusi pada stabilitas sektor pariwisata Gili, yang memiliki efek pengganda ekonomi ke penerimaan daerah.

Menghentikan layanan yang legal dan efisien justru berisiko menciptakan kerugian ekonomi yang lebih besar bagi daerah—melalui gangguan layanan, biaya substitusi air yang lebih mahal, dan pukulan reputasi destinasi wisata.

Pada akhirnya, penelisikan yang jujur terhadap potensi kerugian negara pada proyek KPBU Gili Matra mengarah pada sejumlah hal yang justru akan membantah premis tentang kerugian negara tersebut. Bahkan Desain proyeknya merupakan paradigma mitigasi risiko yang bukan saja cermat tetapi detail dalam prakteknya.

KPBU air bersih Gili Matra menampilkan model bisnis yang menguntungkan BUMD dalam hal ini PDAM Lombok Utara yang menjadi mitranya. Keuntungan itu tercermin antara lain pada harga yang kompetitif, mekanisme bayar sesuai-kinerja yang berbasis bukti serah terima bulanan, adanya opsi subsidi silang untuk menjaga keterjangkauan warga dan ketiadaan rencana pipa dari daratan

Selain itu KBPU air bersih Gili Matra memberikan solusi layanan publik yang berkelanjutan sekaligus melindungi—bahkan memperkuat—posisi keuangan daerah. Tidak tampak unsur kerugian yang lahir dari desain proyek ini; yang terlihat justru nilai tambah fiskal dan ekonomi yang kompatibel dengan kepentingan publik disana.

Berita Terkait

Back to top button