Mataram (NTBSatu) – Mahasiswi Semester 9 Program Studi PGSD STKIP Taman Siswa Bima, Leni Lutfiani setiap hari ke kampus dengan berjalan kaki dua kilometer.
Bukan karena tidak ada pilihan, hal itu ia lakukan karena mengetahui bahwa ilmu adalah bekal hidup yang tidak bisa ditukar.
Duduk di bawah rindang pohon ketapang dekat kampusnya, Leni bercerita dengan mata yang sesekali berkaca-kaca. Ia mengenang, bagaimana merangkai langkah dari kampung kecil di Desa Lasi, Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu hingga kini hampir menyelesaikan studi sarjananya
Menjejak Mimpi dari Tanah Kilo
Leni Lutfiani adalah anak pertama dari dua bersaudara yang tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya wafat saat ia masih duduk di bangku SMP kelas dua. Kehilangan itu membuatnya sempat mengubur impian masa kecil: kuliah setinggi mungkin.
“Waktu itu, saya pikir kuliah hanyalah mimpi anak kecil yang harus saya lupakan,” katanya lirih
Namun takdir rupanya punya skenario berbeda. Pada tahun 2018, Leni memutuskan merantau ke Kota Bima untuk bekerja. Dua tahun kemudian, keinginan untuk berkuliah kembali menyala.
Walau sempat mendapat penolakan halus dari ibunya karena keterbatasan biaya, ia tak menyerah.
“Saya bilang ke mamah, insyaAllah pasti ada jalan,” kenangnya.
Keyakinan itu akhirnya berbuah restu. Dengan uang hasil kerja, ia membayar biaya pendaftaran dan resmi menjadi mahasiswi STKIP Taman Siswa Bima pada tahun 2020.
Langkah Kaki, Langkah Hati
Sejak menjadi mahasiswa, rutinitas Leni nyaris tak berubah. Ia berjalan kaki sejauh dua kilometer setiap hari menuju kampus. Jika sangat terdesak waktu, ia baru menggunakan ojek.
“Biasanya saya bantu-bantu bersih-bersih rumah keluarga almarhum bapak dulu sebelum berangkat. Kalau mepet jam kuliah baru naik ojek,” katanya sembari tersenyum.
Berjalan kaki bukan sekadar hemat ongkos. Leni memutuskan menyisihkan uang harian untuk kebutuhan lebih penting seperti makan siang di kampus atau membeli perlengkapan tugas.
Ketabahan ini tak hanya menunjukkan semangat belajar, tapi juga tekad kuat untuk bertahan dan tumbuh dari keterbatasan.
Antara Tanggung Jawab dan Kesempatan
Pada akhir masa kuliahnya, Leni tak hanya disibukkan dengan skripsi. Ia juga dipercaya menjadi pegawai magang di BAAK Kampus II STKIP Taman Siswa Bima. Di sinilah ia belajar tentang manajemen waktu, pelayanan, serta regulasi kampus.
“Di sela jam istirahat saya mengerjakan skripsi, malamnya lanjut membaca referensi,” ujarnya.
Bukan sekali dua kali Leni merasa ingin menyerah. Terutama saat ada tagihan kuliah yang belum mampu dibayar.
Namun, dukungan keluarga dan kemurahan hati teman-teman yang berbagi subsidi membuatnya tetap bertahan. Bahkan, ia pernah mendapatkan beasiswa prestasi selama satu semester.
“Waktu itu saya menangis saat melihat tulisan dosen saya di belakang kuitansi: Allah Is The Best Right. Itu menguatkan saya luar biasa,” kenangnya.
Guru, Motivator, dan Sahabat
Selain aktif dalam perkuliahan, Leni juga menorehkan sejumlah prestasi dan pengalaman berharga. Ia pernah mengikuti Program Kampus Mengajar angkatan 5, ditempatkan di sekolah daerah 3T.
“Kami jadi guru, sahabat, sekaligus keluarga bagi siswa di sana,” kata Leni.
Ia menambahkan bahwa dari pengalaman itu, ia belajar bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi tentang membangun ikatan dan membawa perubahan.
Ia juga terlibat dalam penelitian bersama dosen, mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), serta aktif dalam kegiatan pengabdian masyarakat.
Bagi Leni, semua itu adalah ladang pembelajaran yang tak bisa didapat di bangku kuliah semata.
Pelita Harapan dari Timur
Kini, Leni sudah menapaki ujung perjalanan kuliahnya. Ia menatap masa depan dengan kepala tegak dan cita-cita yang tetap hangat. Yakni menjadi guru inspiratif, membangun usaha mandiri, dan menjadi motivator bagi orang-orang di sekitarnya.
“Saya ingin bermanfaat dari semua ilmu dan pengalaman yang saya dapat,” ujarnya yakin.
Ia juga menyampaikan pesan kepada mahasiswa lainnya. “Jangan takut salah, jangan takut bertanya. Lawan rasa takut, karena takut itu penyakit yang tak ada obatnya kalau dibiarkan,” katanya lugas.
Akhir Sebuah Awal
Bagi Leni, kampus bukan sekadar tempat belajar, melainkan rumah kedua. Ia menyampaikan terima kasih kepada semua dosen, pegawai, dan pihak kampus yang telah memberinya ruang tumbuh dan berkembang.
Ia juga berpesan kepada masyarakat bahwa pendidikan bisa mengubah cara pandang dan masa depan.
“Pendidikan bukan hanya soal gelar, tapi tentang nilai hidup yang kita bawa dan sebarkan,” tuturnya.
Langkah kaki Leni Lutfiani yang saban hari menapaki jalan setapak menuju kampus bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi sebuah simbol keberanian menembus keterbatasan.
Dari kampung kecil di Dompu, ia membuktikan bahwa mimpi tak pernah terlalu jauh bagi mereka yang berani melangkah. (*)