Mataram (NTBSatu) – Penyanyi senior Indonesia, Titiek Puspa tutup usia pada 10 April 2025. Ia meninggal akibat mengalami pendarahan otak kiri.
Di balik nama besarnya, ada kisah perjalanan panjang yang berawal dari keberanian seorang gadis bernama Sudarwati. Seorang anak dari Tanjung, Kalimantan Selatan yang bersuara merdu dan bermimpi besar, meski dunianya saat itu tidak selalu mendukung.
Pada masa mudanya, menjadi penyanyi bukan jalan hidup yang dianggap mulia, apalagi untuk perempuan. Keluarganya berharap, ia memilih hidup yang lebih “pasti” yakni bersekolah, bekerja, dan menikah.
Namun, Titiek Puspa alias Sudarwati punya suara dan mengetahuinya kalau bakat tersebut tak seharusnya berada di balik tembok rumah.
Diam-diam, ia mulai mengikuti lomba menyanyi. Salah satu momen penting adalah ketika ia tampil di sebuah kompetisi di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang.
Di balik mikrofon itu, suaranya bicara lantang, meyakinkan bahwa ia pantas ada di sana. Ia menang dan kemenangan itu menjadi tiket masuk ke panggung profesional
Langkahnya kemudian membawanya bergabung dengan sejumlah orkes ternama. Seperti, Orkes Simfonia, Orkes Gema Suara, dan Orkes Studio Jakarta.
Tak hanya bernyanyi, di sana ia mulai belajar tentang musik sebagai sebuah seni, bukan sekadar hiburan. Ia mulai menulis lagu sendiri. Naluri bercerita lewat lirik yang tajam dan jujur menjadi kekuatannya.
Nama Panggung dari Presiden Soekarno
Di tengah perjalanannya, datang momen penting lainnya. Presiden Soekarno memberinya nama panggung baru, Titiek Puspa. Nama ini bukan hanya label, tapi semacam restu.
“Titiek” berarti titik awal, “Puspa” berarti bunga. Sebuah metafora perjalanan: dari seorang gadis biasa, menuju perempuan yang kelak mekar menjadi legenda.
Lagu-lagu ciptaannya mulai bermunculan dan lekat di hati banyak orang. Salah satu yang paling berani adalah Kupu-Kupu Malam.
Lagu tersebut berbicara tentang perempuan pekerja malam, tanpa menghakimi, tanpa menutup-nutupi realitas. Lagu Kupu-Kupu Malam menjadi bukti keberaniannya sebagai penulis lagu di era ketika tema semacam itu nyaris tabu.
Tak berhenti di situ, ia juga menulis Bing, lagu penghormatan untuk sahabatnya, Bing Slamet, yang meninggal dunia. Sebuah balada sederhana tapi menghunjam emosi.
Selama bertahun-tahun, Titiek Puspa terus berkarya. Ia tak hanya hidup di dalam musik, tapi juga menjadi saksi hidup perubahan zaman. Dari piringan hitam, kaset, CD, sampai ke era streaming digital, lagunya tetap dicari dan dinyanyikan ulang oleh generasi baru.
Di balik ketenarannya, kisah awal perjalanan Titiek Puspa adalah pengingat sederhana: bahwa suara, mimpi, dan keberanian bisa mengalahkan batas apa pun.
Alur Singkat Perjalanan Karier Titiek Puspa
1937: Lahir di Tanjung, Kalimantan Selatan.
1950-an: Menang lomba menyanyi di RRI Semarang, awal karier profesional.
Akhir 1950-an-1960-an: Bergabung dengan orkes-orkes besar; Presiden Soekarno memberi nama “Titiek Puspa”.
Kemudian 1970-an: Menulis lagu-lagu abadi seperti Kupu-Kupu Malam, Marilah Kemari, Bing.
1980-an – sekarang: Tetap aktif berkarya dan menjadi legenda musik Indonesia.
Karya-karya
Kupu-Kupu Malam – Lagu berani dan manusiawi tentang perempuan pekerja malam.
Bing – Lagu balada penghormatan untuk Bing Slamet, penuh emosi.
Marilah Kemari – Lagu ceria yang lekat di telinga generasi anak-anak Indonesia.
Apanya Dong – Lagu satir bernuansa ringan, cerdas, dan menghibur.
Kini, ia telah berpulang ke sisi-Nya sebagai kebanggaan Indonesia setelah ulang tahunnya ke-87.
Sebagai informasi, artikel ini merupakan karya tulis yang dihasilkan dengan menggunakan aplikasi kecerdasan buatan ChatGPT, yang hasilnya telah disupervisi dan divalidasi oleh redaksi NTBSatu. (*)